Aku menekan nomor pin pintu apartemen, begitu pintu terbuka seperti halnya kebiasaan rutinku aku mengucap salam. “Assalammualaikum.” kataku pada rumahku yang kosong.

            “Waalaikumsalam.”  Aku terdiam kaget dengan apa yang baru saja kudengar. Itu mimpi atau kenyataan, seseorang menyambut kedatanganku dan aku sangat hapal suara itu.   

            “Zira,” kataku tak percaya.

            “Yes!Hun aku di dapur.”

            Tergesa aku memburunya ke tempat di mana dia berada, langkahku terhenti di ambang pintu saat melihat istriku tengah berdiri di depan microwave yang terbuka, berusaha mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. “Jadi tadi …” aku tak mampu melanjutkan kata-kataku.

            “Aku hubungi Abang pake nomor rumah, masa nggak nyadar sih?” dia melirikku dari balik bahu sambil tersenyum menggoda.

            “Kapan berangkat dari Amsterdam?”

            “Kemarin pagi, Abang.” Istriku yang cantiknya selangit itu membawa pinggan yang rupanya berisi macaroni schottel itu ke meja pantry. “Pake penerbangan langsung transit cuma dua jam di Dubai. Abang laper? Ayo kita makan dulu.” Ajaknya.

            Kupindai dia dari atas ke bawah. Pakaian yang dikenakannya bukan seperti pakaian yang biasa dia pakai saat kunjungan rutinku ke Amsterdam. Zira juga tidak menggunakan pashmina ataupun jilbab untuk menutupi rambutnya. “Kenapa begitu tiba-tiba?” cecarku penasaran.

            “Habis gimana lagi, kalo ngikutin maunya Mami sampai tiga bulan ke depan jadwal kita penuh tau nggak.”

            Aku hanya diam tak mengerti.

            “Masalah ritual kawin adat itu, sebulan aku harus udah ada di Liwa buat persiapan. Setelahnya kita resepsi di Palembang, belum lagi Umi sama Abi mau kita juga resepsi di Jakarta, pusingkan?”

            Aku mengangguk setuju, itulah yang harus kami hadapi. Karena baik aku maupun Zira sama-sama anak sulung susah sekali rasanya mengontrol ego kedua keluarga kami untuk membatasi waktu dan tempat acara resepsi kami. Belum lagi masalah pemborosannya yang bikin geleng-geleng kepala. “Jadi alasan Cherie, mempercepat kepulangan itu apa?” Aku menatapnya pura-pura bodoh.  

            Istriku mengerutkan hidungnya dengan lucu. “Kura-kura dalam perahu deh!” sahutnya ketus yang langsung membuatku terkekeh.

            “Yang jelas ada hubungannya dengan alasan kenapa Ma Cherie nggak pakai underwear di balik jersey Real Madrid Abangkan?” godaku seraya melemparkan pandangan mesum pada aset pribadinya yang membayang jelas dari balik jersey yang ia kenakan. Aset berharga yang sudah sepuluh tahun jadi milikku juga namun belum pernah sekalipun ku jamah.

            Bukannya tersipu malu Azira malah mengangguk penuh semangat, “Pemandangan indahkan?” ia balik menggodaku.

            “Banget!” Responku cepat. “Yok ke kamar.”

            Dia mengangkat pinggan kaca di tangannya “Macaroninya?”

            “Bawa aja Cher, kalo laper biar gak jauh-jauh ambil makanan.”

            “Oh! Oke.” Azira mendekat padaku, setibanya diambang pintu kuulurkan tangan untuk merengkuh pinggang sekaligus menghadiahkan satu kecupan kecil di dahinya.

            “Tapi Sholat sunnah dulukan?” Ia menatap bertanya.

            Aku mengangguk sambil tersenyum. Tentu saja aku tahu ritual paling sederhana tapi paling indah bagi sepasang pengantin baru itu. Akukan pengantin lama.       

My Story Book (One Shoot)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora