SATU

16.5K 1K 85
                                    

Untuk kesekian kali aku bermain dengan kesenyapan.

Waktu semakin mengejar-ngejar bagaikan menggeluti bayangan yang sendu. Sedang hujan menampar jalan beraspal, trotoar, atap mobil, bahkan jiwaku. Aku terperangkap di balik kaca jendela, menyanggama lalu-lalang kota Surabaya lengkap dengan bising kendaraan yang samar-samar terselimuti alunan piano melagukan "Una Mattina" yang menggelegak di seantero tempat. Entah berapa detik kuhabiskan di malam muram ini, dihibur royal peach yang telah terhidang di dalam gelas berkaki panjang.

Ah! royal peach! Es krim favoritmu. Lidahku yang kelu barangkali memprotes. Hanya untuk mengingatmu, kenapa harus dia yang dikorbankan?

Saat mataku menyapu buah ceri di atas gundukan es krim yang perlahan melumer itu, memoriku dikilas balik. Perlahan-lahan yang tersembul dalam sudut pikiranku adalah wajahmu. Lantas, buku bersampul biru yang abstrak. Dan bayangan-bayangan lain mengekor bagai menghamba sang pemilik waktu.

Lima tahun berlalu, tapi es dalam hatiku tak kunjung roboh. Seandainya waktu mempersilakan aku menungganginya dan jatuh tepat di atas pusaran lima tahun lalu, akan kuhapus namamu. Kuhapus wajahmu. Kuhapus segala hal tentang dirimu. Adakalanya, rindu dan cinta yang tersemat dalam dada menekan tubuhku sampai tersudut. Aku tak ingin mereka kembali lagi. Tidak untuk sekarang.

Tetapi tetap saja. Kenangan menari lincah dalam kepalaku. Memelesat ke kanan, kiri, depan, belakang, berloncatan, dan kembali mendekam di pojok pikiranku bagai anak kecil yang tak diperbolehkan lagi bermain. Lantas suara pertama muncul.

"Hamka? Bagus."

Dan terceburlah aku menyelami lagi lamunan tak berkesudahan ini. Aku menjelma lagi menjadi setangkai dandelion kecil dalam genggamanmu. Waktu itu, kau datang secara tiba-tiba, duduk di depanku.

Aku menarik dagu bersitatap denganmu. Tenggelam bersama kedalaman dan kehangatan di kedua matamu.

"Ya. Tenggelamnya Kapal van der Wijck."

"Saya sudah baca buku itu dan menyukainya. Makanya, saya pinjam berkali-kali dari perpustakaan."

Lantas kau membagikan sekelumit cerita mengenai buku tersebut kepadaku. Aku mendengar dalam diam. Meskipun jantung berpacu laksana genderang perang yang ditabuh. Tak henti-hentinya menjerit-jerit diikuti bisikan batinku mengatakan: Eureka! Aku telah menemukannya!

Itu adalah kata yang pernah diteriakkan Archimedes untuk menandai penemuannya.

Setelah sekian lama, aku telah menemukannya, sebentuk hati berwarna merah jambu yang berpendaran di atas kepalamu. Dengan kepiawaianmu bertutur kata, senyum ramah, dan pengetahuanmu itu, aku menemukannya pada dirimu. Benakku berbisik, barangkali dengan melabuhkan kapalku di dermagamu, aku bisa meninggalkan bayang-bayang pantai di ujung utara atau selatan. Pantai yang gersang dan penuh pengkhianatan.

Eureka!

Sejak pertemuan di perpustakaan dan obrolan tentang buku-buku, ingin kulempar jangkar secepatnya untuk memeluk dermagamu. Aku lelah berlabuh di dermaga dan pantai asing. Kau dengar aku? Aku juga lelah berlayar nun jauh, terpontang-panting di tengah samudra, singgah di pantai-pantai yang tak pernah memberiku jawaban atas segala pertanyaan tentang... apa itu cinta?

Dan kita dekat. Sedekat kabut yang menyalami bintang-gemintang di angkasa raya. Terlihat dekat kalau dilihat dari bumi, kan? Tetapi nyatanya jarak keterpisahan kabut dengan bintang amatlah jauh. Seperti halnya kita. Hatiku berbisik mengatakan bahwa kau dan aku adalah sepasang sayap yang harus segera dipasang pada seekor merpati dengan tali merah pada paruhnya. Tetapi kenyataannya, hatimu seakan berjarak sangat jauh dariku.

Mungkin aku yang terlalu bodoh menganggap hatimu mampu bertemu denganku, berkaitan erat, bagaikan gembok yang telanjur terkait di pagar besi Pont des Arts.

Eureka #RemembertheFlavorWhere stories live. Discover now