two ; Telling Lies

63 8 2
                                    

# 02 #

Jinhee's POV

Setelah menaiki anak tangga satu-persatu, akhirnya aku sampai ke tempat favoritku di sekolah ini.

Aku duduk di salah satu bangku kosong yang letaknya di pojok ruangan itu.

Aku membuka makan siangku yang hanya tinggal setengah. Mengingat fakta bahwa aku adalah tipe yang membutuhkan waktu lama untuk menghabiskan satu porsi makanan.

Tiba-tiba aku mendengar langkah kaki pelan yang berasal tidak jauh dari sini. Aku yakin seratus persen bahwa langkah kaki akan menuju ke arah sini.

Apa yang harus kulakukan?

Aku menutup kembali makananku dan bersembunyi di bawah meja. Terdengar bodoh, tapi siapa peduli?

Aku mengintip dari bawah meja, tidak kelihatan jelas memang. Tapi setidaknya aku bisa melihat bahwa itu adalah seorang laki-laki.

Terdengar jelas nafas terengah-engah dari laki-laki yang belum kuketahui identitasnya itu. Dapat kupastikan bahwa ia telah berlari atau entahlah, yang jelas ia kelelahan.

Yang kuperlukan sekarang adalah kamera. Ya, aku mempunyai penglihatan yang buruk, kamera di ponsel dapat membantuku.

Aku meraba-raba saku rokku untuk mencari ponselku. Tapi hasilnya nihil.

Setelah sekian lama aku baru sadar bahwa ponselku tertinggal di atas meja.

Oh, sial.
Bagaimana jika laki-laki itu membuka ponselku?

Aku segera menaikkan salah satu tanganku dan mulai menebak-nebak di mana letak ponselku.

"Yah, keluarlah," Kalimat pertama yang diucapkan laki-laki itu membuatku merinding.

"Aku tidak berbahaya. Mengapa kau harus bersembunyi?" lanjutnya.

Benar, mengapa aku bersembunyi?

Aku berhati-hati melangkah dengan berjongkok agar kepalaku tidak terbentur meja.

Aku mengambil ponselku dan memasukkannya ke sakuku. Kedua mataku mulai mengamati laki-laki yang berdiri di dekat pintu.

Mataku terjatuh tepat di badge namanya.

Park Jimin.

Tidak ada satu katapun yang keluar dari mulutku, begitu juga dengannya. Kami berdua sibuk berpikir di dunia kami sendiri.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku memecah keheningan.

Jimin's POV

Aku berdiri diam mematung, aku hanya dapat merasakan atmosfir aneh yang jarang kutemui ini.

Tanpa berpikir dua kali, aku menjawab pertanyaannya. "Aku kabur. Iya, kabur," terdengar aneh tapi apa boleh buat? Karena memang itu alasan aku berakhir di ruangan asing ini.

Butuh beberapa saat sampai akhirnya ia merespon. "Kabur? Apa kau tidak bisa membuat alasan lain yang lebih masuk akal?" ucapnya penuh penasaran.

Apa yang harus kukatakan?

Aku memutuskan untuk menjelaskan kebenarannya. Dari titik awal sampai akhir. "Jadi—"

Mengapa ia tidak menjadi gila seperti perempuan lain sekarang?

"Kau tahu kalau kami mempunyai banyak penggila atau ya, bisa disebut, fans." lanjutku tidak bermaksud sombong, tapi itu kebenarannya.

Tidak ada satu hari tanpa surat cinta.
Tidak ada satu hari tanpa jeritan melengking perempuan.
Tidak ada satu hari tanpa permintaan kencan.

"Saat kami di kantin untuk makan siang, para penggila itu menghampiri kami beramai-ramai, berteriak-teriak seakan dunia milik mereka sendiri. Aku benci itu," jelasku jujur.

"Aku memiliki pengalaman buruk masa kecil yang membuat aku sangat membenci keributan. Saat itu, saat aku belum menjadi seperti sekarang, aku memiliki pengalaman buruk karena teriakan seseorang—atau lebih tepatnya, Ibuku."

Entah apa yang kupikirkan, aku menceritakan semuanya ke perempuan yang sama sekali tidak kukenal. Tapi dengan begitu aku merasa sedikit bebanku terangkat.

"Park Jimin," panggilnya membuyarkan lamunanku.
"Himnae(stay strong)," katanya sambil menepuk pundakku dan tersenyum hangat.

Pertama kali ada orang yang memberiku ucapan semangat ketimbang malah mengolokku saat aku menceritakan kejadian itu.

Lalu aku melihatnya berjalan keluar memunggungiku, aku melihat nama yang ada di badge miliknya.

Son Jinhee.

Yang terjadi barusan merupakan pertemuan pertama kami berdua. Singkat, tapi berarti. Dan aku akan memastikan bahwa kami akan bertemu lagi untuk kedua kalinya.

Aku melangkahkan kedua kakiku ke luar dari ruangan ini. Setelah beberapa saat mencari, aku menemukan dua sahabat karibku yang setengah normal itu.

"Park Jimin, kau tahu dari tadi kami mencarimu?" omel Taehyung layaknya seorang ibu itu.

"Mianhae(maaf), Tae. Kau tahu sendiri aku paling tidak tahan dengan jeritan-jeritan itu," ucapku jujur.

"Kenapa kau tidak memberi tahu dulu sebelum kau pergi?" Jungkook membuka mulutnya dan ikut-ikutan mengomeliku.

"Hm, tadi Yoo-ssaem meminta tolong padaku untuk mengambil beberapa buku miliknya di gudang. Dan ya, mana mungkin aku menolaknya?" ucapku berusaha sebisa mungkin memberi alasan masuk akal.

Taehyung's POV

Aku masih penasaran apa atau bahkan siapa yang membuat Jimin begitu gigih untuk mencari alasan lain.

Tentu saja, sebenarnya aku dan Jungkook mengetahui kemana Jimin pergi, karena pada saat itu kami berjalan tepat di belakangnya.

Hanya saja kami memutuskan untuk tidak berbelok dan masuk ke ruangan yang sama dengan Jimin. Biarkan ruangan itu tetap menjadi ruangan asing bagiku, dan aku yakin jika Jimin juga perlu waktu sendiri.

Dan bisa saja para penggila itu menemukan kami di dalam ruangan itu, yang berarti sudah tidak ada sama sekali ruangan yang dapat kugunakan untuk lari dari mereka.

Aku dan Jungkook saling bertukar pandang, seakan hanya ada satu pertanyaan yang sama di pikiran kami berdua.

Kenapa Jimin berbohong?

Aku mengangkat alisku tanda bahwa aku juga tidak mengerti, namun kami berdua memutuskan untuk tidak bertanya.

Mungkin ia akan menceritakannya lain kali.

***

a/n : love triangle everybody get ready ;-)

vomments will be nice ehe thankyou ♡

Housemate | BTS Taehyung FanfictionHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin