"Kita kalah. 4-3."

"Sayang sekali," gumam Jisoo bersimpati. "Bagaimana dengan Chan?"

"Chan baik-baik saja, meski tentu dia juga kecewa. Ini adalah pertandingan pertama yang diikutinya, jadi dia masih mempunyai banyak kesempatan lagi di tahun depan. Tidak ada waktu untuknya terpuruk terlalu lama."

"Benar," Jisoo sedikit tersenyum miris, seperti sedang menertawai diri sendiri. "Terpuruk terlalu lama."

Apa Jisoo selalu ditinggal pergi oleh kedua orang tuanya untuk berbisnis? Rumah ini sangat terlalu besar dan begitu kurang nyaman tanpa kehadiran anggota keluarga lainnya.

Aku mengedarkan pandanganku ke penjuru ruangan dan mendapati banyak sekali foto Jisoo dengan seorang wanita cantik. Sangat cantik. Pasti itu adalah kakaknya, mengingat Jisoo bilang bahwa aku mengingatkan dirinya pada kakaknya.

Dan aku memang menemukan kemiripan kami.

Struktur wajah kami memang sedikit mirip, tetapi rambut kamilah yang sangat mirip. Dari potongan rambut, gaya rambut, panjang rambut, dan warna rambut, benar-benar terlihat sama. Kami akan terlihat mirip jika sama-sama dilihat dari belakang. Bahkan ada salah satu foto kakak Jisoo yang diambil dari belakang begitu persis dengan fotoku, yang juga diambil dari belakang, yang sekarang masih tergantung di dinding ruang kerja kakek.

"Apa kakakmu juga tidak di rumah?" tanyaku, berusaha kembali membuka obrolan.

Jisoo sangat menyayangi kakaknya dan akan sangat antusias jika membicarakannya. Aku pikir suasana yang saat ini terkesan kaku di antara kami bisa sedikit mencair jika kami membicarakan kakaknya.

Tetapi ternyata dugaanku meleset. Sebaliknya, terjadi keheningan di antara kami karena Jisoo yang membisu. Dan aku merasa keheningan kali ini lebih canggung dari sebelumnya.

Apa aku salah berbicara?

Tidak seperti biasanya, kenapa Jisoo tidak terlihat senang ketika topik tentang kakaknya diangkat?

Apa Jisoo sedang bertengkar dengannya?

Atau apa kakaknya telah memutuskan untuk menikah dengan seorang laki-laki, dan hal itu membuat Jisoo sedih karena menganggap bahwa kakaknya adalah miliknya?

Aku mengerjap, sedikit terkejut ketika tiba-tiba saja kurasakan Jisoo meletakkan kepalanya bersandar di atas pundakku dengan lesu.

"Bisakah kita begini untuk beberapa saat saja, Jeonghan?"

Mendengar suaranya yang begitu lemah, aku menganggukkan kepalaku. "Ya, tidak masalah."

"Terima kasih sudah mau datang ke sini."

"Ya, tidak masalah."

Aku tidak tahu harus berbicara apa lagi. Mungkin sebaiknya aku mulai saja ke pokok pembicaraannya...

"Jisoo?"

"Ya?"

"Maaf karena beberapa hari yang lalu aku tidak bisa mengangkat panggilan teleponmu."

Saat itu aku sudah berjanji pada Seungcheol untuk hanya fokus padanya, dan aku tidak berpikir kalau setelah kejadian itu Jisoo akan tiba-tiba menghilang seperti kemarin.

"Tidak apa-apa," balas Jisoo. "Aku yang seharusnya meminta maaf karena menghubungimu di waktu kau sedang sibuk."

Sejujurnya saat itu aku tidak sibuk sama sekali. Saat itu aku sedang bersenang-senang, berkencan. Hanya saja tidak mungkin aku menyebutkan hal itu pada Jisoo.

"Jadi apa sudah terlambat kalau aku bertanya kenapa kau menghubungiku beberapa hari yang lalu?"

Hampir satu menit penuh Jisoo tidak mengeluarkan suara apapun, dan aku hanya bisa menunggunya.

Bunga Iris dan TakdirWhere stories live. Discover now