3. Moving Forward

Start from the beginning
                                        

Rasa-rasanya Ryan ingin segera mengakhiri hidupnya sekarang juga, hanya supaya ia tidak perlu lagi mendengar perkataan Karin yang cukup--ralat--sangat menyakitkan itu.

"Mi, udahlah." Jersey berusaha menenangkan istrinya. "Nggak usah diungkit-ungkit lagi."

"Nggak papa, Pi. Supaya dia tahu, kalau bukan cuma dia aja yang menderita, tapi kita juga, Pi."

"Tapi, Mi--"

"Papi," desis Karin, tatapannya sudah cukup menutup rapat-rapat mulut Jersey. "Kasih kesempatan Mami ngomong."

Jersey lantas menghembuskan napas berat. Ia berdiri dari kursinya dan menghampiri Mitchie. "Miki, ayo Papa anter kamu ke sekolah."

Dengan wajah iba--namun terkesan imut--Mitchie melirik Ryan. "Dadah, kak Yan-Yan." Ia lantas melingkarkan kedua tangannya ke leher Ryan, memeluk laki-laki itu dengan erat.

Ryan balas memeluk Mitchie, namun lebih erat lagi. "Hati-hati, Miki. Belajar yang bener, ya. Jangan ikut-ikut kakak."

"Iya, kak," Mitchie melepas pelukannya dan memberikan satu ciuman pada pipi Ryan. "Mitchie sayang kakak."

Ryan tersenyum hangat. "Kakak juga sayang Mitchie."

Kemudian Jersey menarik tangan Mitchie, Mitchie melambai-lambaikan tangannya kearah Jersey, sampai akhirnya adik kecilnya itu menghilang dari pandangan. Dan kini hanya tinggal ibu dan anak sedang berhadap-hadapan di meja makan, berusaha meluruskan masalah.

Jeda sejenak, kemudian Karin kembali melanjutkan curahan hatinya, "Asal kamu tahu, Yan. Mama diam-diam nangis di kamar setiap kali ngeliat kamu terpuruk menangis karena gadis itu. Mama juga hancur ngeliat kamu dituduh dan disudutin sama temen-temen kamu yang seharusnya bisa percaya sama kamu. Ditambah lagi mendengar bahwa kamu nggak lulus..." Karin menggantungkan perkataannya, ia menggigit bibirnya dan menelan ludah, panas merambat ke matanya. Namun ia tetap berusaha melanjutkan,

"Apa yang kamu rasain, Mama juga rasain, Nak. Mama tahu itu sakit." Karin meneteskan air mata ketika mengucapkan satu kata terakhir.

"Ma... cukup." Ryan akhirnya bersuara menanggapi, terdengar rapuh.

Sendok dan garpu yang sedari tadi Ryan remas dengan kuat, akhirnya terlepas dari genggamannya. Ia menghela napas panjang dan menunduk seraya menggerakkan kedua tangannya kebelakang leher, sehingga telapak tangannya menyentuh bagian belakang leher dan sikunya menapak pada meja.

Rahangnya mengeras, giginya bergelemutuk--menahan tangis. Satu persatu kalimat Karin membawanya kepada kenangan terburuk yang bahkan ingin sekali Ryan lenyapkan dari seluruh bagian otaknya.

"Mama minta maaf, kalau Mama mengungkit lagi masalah ini dihadapan kamu. Tapi, Mama mohon sama kamu, Yan. Mama minta tolong," suara Karin bergetar hebat. Ia kemudian mencondongkan badannya kedepan. "Kabulin satu permintaan Mama. Demi kebaikan kamu dan juga Mama-Papa."

Ryan perlahan-lahan mendongak, menatap Karin dengan mata berkabut.

"Kamu harus berusaha untuk maju kedepan dan melupakan masa lalu. Memang sulit, tapi kamu punya Papa, Mama, dan adik kamu yang selalu ngedukung kamu, Yan."

[.]

Pintu rumah bermaterial kayu jati terbuka, memunculkan sosok Ryan dengan tas ransel hitam bertengger di bahunya, siap untuk kesekolah.

Setibanya di depan mobil, seuntai memori terkenang di benaknya.

Samar-samar ia melihat sesosok gadis berambut panjang sedang duduk di kursi penumpang, tersenyum lebar dan sedang melambaikan tangannya kepada Ryan.

Must Date The IntrovertWhere stories live. Discover now