Stefhanie Zamora as Thalia Husen
<•>
Suara bantingan pintu terdengar sangat keras dan menggema diseluruh ruangan lantai atas, membungkam pertengkaran antara suami istri yang berada di lantai bawah--mereka terkejut bukan main. Kalau saja pintu itu terbuat dari kaca, mungkin kacanya sekarang sudah jatuh berserakan di lantai.
Dibalik pintu, Gita berdiri dengan deru napas yang memburu. Dadanya terasa panas. Terlalu panas sampai-sampai panas itu merambat ke matanya dan juga kepalanya. Bagaikan air yang sebentar lagi mendidih.
Perlahan, setitik air mata jatuh satu persatu membasahi pipinya, yang kemudian semakin deras hingga mengeluarkan sesenggukan. Hatinya terasa sesak, harus berhari-hari melihat kedua orang tuanya beradu mulut. Hari demi hari sejak kejadian itu, tiada hentinya Ibu dan Ayah Gita membuat rumah ini seolah medan untuk berperang.
Masih dengan air mata yang terus mengalir, Gita membawa kakinya menuju meja belajar. Tangannya terulur mengambil sesuatu dari dalam lacinya. Sebuah foto. Ia duduk dan memandang nanar kedua gadis yang berada di dalam foto itu.
Dirinya yang masih berumur dua belas tahun, berpose gaya yang sudah sangat mainstream--mengangkat tangan ke udara, telunjuk dan jari tengah terangkat membentuk huruf V alias tanda peace--ditemani seorang gadis remaja yang lebih tua dua tahun darinya, menggunakan pose yang sama.
Tertawa lepas--bahagia, seakan tidak ada beban.
Priskilla Nia, dia namanya.
Gadis kelahiran tahun sembilan sembilan yang juga merupakan kakak kandungnya. Baik, lemah lembut, dan tidak pernah perhitungan. Nia selalu menjadi teman curhatnya, teman bermainnya, teman makan, teman nonton, teman yang selalu menemani disaat Gita nggak bisa tidur, teman yang nggak pernah lelah menemani Gita ke toilet malam-malam kalau Gita takut, teman yang selalu menghibur disaat Gita sedih, dan--ini memang terkesan jahat--teman yang sering menjadi tumbal kejailan Gita.
Nia bukan hanya sekedar kakak, tapi juga sahabat.
Dan itu yang membuat Gita hancur saat Nia pergi, meninggalkannya dalam kesepian yang teramat dalam.
Berbulan-bulan Gita tinggal di dalam kehancuran, bertanya-tanya kenapa bisa secepat itu Nia meninggalkannya. Sementara usianya masih terbilang sangat muda--enam belas tahun. Masa depannya juga masih sangat panjang.
Rasanya sangat tidak adil.
Kepergian Nia bukan hanya membawa kesedihan bagi dirinya, namun juga mengubah hidupnya secara keseluruhan.
Semenjak kehilangan Nia, Ibunya--Tiwi, dan juga Ayahnya--Dandy--lebih sering bertengkar jika bertemu, saling menyalahkan satu sama lain atas kepergian anak sulung kesayangan mereka. Puncaknya adalah ketika Dandy akhirnya pindah ke Jakarta bulan yang lalu bersama Gita--tiada hari tanpa adu mulut. Namun walaupun begitu, lubang penyesalan tetap menganga di dalam lubuk hati mereka.
Alhasil, setiap hari Gita harus makan hati menyaksikan pertengkaran mereka.
Helaan napas perlahan terlepas dari mulutnya. Tangannya bergerak mengusap wajahnya, menghapus air matanya dengan punggung tangan. Sudah cukup dia menangis, hatinya lelah. Gita yakin, mungkin matanya sekarang sudah bengkak.
Sebaiknya dia mencari hiburan dan berhenti bersedih.
Ia lalu membuka laptop yang ada diatas meja belajarnya, berencana memeriksa blog miliknya.
Iya, Gita punya blog. Dia memang suka menulis sejak usianya sembilan tahun. Dan untungnya, sebagai pemula di dunia blogger, dia termasuk cukup berhasil. Banyak yang tertarik dengan artikelnya yang sebagian besar berisi pengalaman-pengalaman hidupnya yang membawa suatu pesan. Bukan hanya sekedar curhatan hati yang tidak berfaedah, namun dia berusaha dalam setiap artikelnya harus ada yang bisa diambil hikmahnya alias bermanfaat.
YOU ARE READING
Must Date The Introvert
RomanceBrigitta, murid pindahan yang memiliki wajah manis, harus melaksanakan misinya dalam memacari Ryan, cowok super duper jutek yang memiliki paras yang lumayan. Tapi ternyata, misinya tidak semudah yang ia bayangkan. Sangat sulit untuk mengambil hati...
