Bagian 16

4.6K 671 11
                                    

Aria menatap pongah pemuda yang telah menyelamatkannya. Dari cara berpakaian yang dikenakan sang pemuda, Aria sudah bisa menebak siapa gerangan yang telah menolongnya: seorang penjelajah.

"Kenapa?" tanya si pemuda. "Turun, burung itu sudah pergi."

Ragu. Ada sesuatu yang aneh dengan pemuda itu. Tidak seperti kebanyakan manusia yang memiliki rambut berwarna hitam, merah, ataupun cokelat, rambut milik pemuda itu berwarna pirang cenderung pucat. Dan kini, ketika helaian rambut itu terkena paparan sinar matahari, warna rambut itu semakin terlihat mendekati perak. Gigilan dingin langsung menjalari tulang belakang Aria. Dia teringat dengan sosok yang dijumpainya di Savana, sosok yang telah menghancurkan kotanya.

Melirik ke samping, sang jembalang ternyata juga tidak ingin meninggalkan batang kayu yang didekapnya.

"Kenapa kau melihatku seperti itu?" tanya sang jembalang. Dahinya berkerut, kedua matanya tampak keruh karena jengkel, dan tangan mungilnya memeluk erat batang kayu.

Melihat rekan sependeritaan memilih berdiam di pohon, Aria pun berkata kepada sang penolong, "Maaf, aku tak mengenalmu."

Pemuda itu tersenyum simpul, jelas-jelas menganggap komentar Aria itu sangatlah konyol. "Memangnya ada peraturan yang menyatakan bahwa hanya orang yang kita kenal saja yang boleh menolong?"

"Tidak," ucap Aria membenarkan.

"Aku mencarimu," kata sang penjelajah.

Mendengar kata "mencarimu" sudah cukup membuat Aria berpikir negatif. Pasalnya, akhir-akhir ini Aria merasa diincar oleh sejumlah mahluk yang Aria bisa pastikan bahwa tak satu pun dari mereka memiliki niatan baik. "Ada perlu apa kau mencariku?"

"Nenekmu," jelas si pemuda, "dia sangat mengkhawatirkanmu."

Mirialiana selamat! Aria merasa beban berat yang ada di kedua bahunya perlahan-lahan mulai terangkat. Syukurlah, setidaknya orang yang disayanginya masih hidup. Tapi tunggu! Bisa saja pemuda ini menipunya.

"Dari mana kau tahu kalau orang yang mengutusmu itu adalah nenekku? Bisa saja kau menipuku."

Untung saja pemuda itu memiliki kesabaran yang cukup besar untuk menghadapi Aria. Dengan nada sopan dia berkata, "Aku tak tahu nama wanita itu, tapi aku yakin, dia sangat mengkhawatirkanmu."

Masih belum puas, Aria bertanya, "Katakan padaku, seperti apa dia?"

Astaga, Aria benar-benar menguji kesabaran penolongnya. "Dia wanita yang kelihatan sangat rapuh."

Aria sedikit memiringkan kepala. Berpikir. "Kelihatan rapuh?" katanya. "Wah, itu jelas bukan nenekku. Nenekku wanita yang garang dan keras kepala. Kau salah orang."

Sang jembalang hanya bisa menggelengkan kepala melihat betapa anehnya anak manusia yang dijumpainya ini.

"Sudahlah," ucap pemuda itu dengan nada jengkel. "Kau harus pulang. Apa yang ingin kaulakukan di luar sini? Berburu? Belajar? Tidakkah kau ingin berjumpa dengan keluargamu?"

Bagaimana mungkin Aria menceritakan kejadian yang dialaminya selama dua hari, rasanya itu tidaklah benar. "Terima kasih atas perhatianmu, tapi aku tidak bisa ikut denganmu."

"Kenapa?"

"Karena aku tidak bisa."

"Maaf, aku berkewajiban membawamu pulang ke kota. Di luar berbahaya, tidakkah kau takut kepada pembuas yang mungkin kaujumpai?"

"Apa yang dikatakan pemuda itu ada benarnya," timpal sang jembalang. "Kau harus berhenti membuat masalah."

Seandainya Aria diperbolehkan, dia ingin mendorong jembalang yang bertengger di dekatnya. "Aku harus pergi ke suatu tempat," katanya. "Aku tidak bisa ikut bersamamu."

"Baiklah, mungkin kau merasa curiga kepadaku, wajar saja. Kau boleh memikirkannya. Saranku, jangan tinggalkan pohon ini. Akan aku biarkan kau untuk berpikir. Lalu, setelah kau merasa agak tenang, aku akan menjemputmu."

Setelah berkata demikian, pemuda itu mengarahkan kudanya menjauh, meninggalkan Aria tercenung bersama sang jembalang.

***

Benar-benar, Ringga tidak bisa memahami jalan pikiran gadis yang ditolongnya. Bukannya menerima saran darinya untuk pergi ke kota, gadis itu malah berceloteh tak jelas mengenai sesuatu.

Tak apa. Ringga akan kembali menjemput gadis itu. Dan setelah itu, dia bisa mengantarkan gadis itu kembali bersama neneknya.

Semoga saja semua berjalan sesuai harapan Ringga.

Sebuah keajaiban gadis itu bisa bertahan sampai sejauh ini, mengingat apa yang dilihat Ringga di Savana. Kota itu hancur dan tidak menyisakan apa pun kecuali puing dan abu. Siapa pun yang mengirim pembuas ke kota kecil tersebut, Ringga bisa pastikan bahwa mahluk tersebut sama sekali tidak memiliki nurani. Dan memang, para elixer itu mengincar sesuatu.

Memikirkan apa yang akan mereka lakukan pada manusia yang diburunya membuat Ringga gemetar. Masih jelas dalam benaknya, apa yang menimpa ibunya.

Jika saja boleh memilih, Ringga ingin menjadi manusia seutuhnya.

Secret Paladio (Baca Lengkap Dreame/Innovel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang