1. Pertemuan Pertama

Start from the beginning
                                        

"Jadi cowok gentle dikit, dong!" bentak gadis itu. Sementara Ryan hanya memilih diam sebagai respon. "Nggak ada kasihannya sama sekali ya udah buat cewek nangis! Lo itu cowok! Belajar gentle dong sama cewek!"

Ryan masih tidak berkutik dengan ekspresi datarnya. Kadang ia malas menanggapi cewek cerewet dan belagu macam gadis yang ada dihadapannya ini.

"Eh, lo bisu ya? Apa tuli? Ngomong kek!"

"Udah ngomongnya?" balas Ryan dingin, cukup membuat gadis itu semakin melotot.

Semoga aja, tuh bola mata nggak keluar.

Ryan lalu dengan acuh berbalik dan bermaksud meninggalkan gadis itu,  namun tangannya ditarik dengan kasar. Mendadak, kepalanya serasa mendidih.

"Kalau gue ngomong, denger dong! Emang gue ini tembok apa? Seenaknya lo cuekkin gitu aja?"

"Karena bagi gue, apa yang lo omongin itu nggak penting."

"Nggak penting kata lo? Heh, otak lo dimana sih? Seharusnya itu lo minta maaf sama cewek itu! Minta maaf gih sana!"

Ryan berdecih. "Emang lo siapa nyuruh-nyuruh gue?"

"Oke. Gue emang bukan siapa-siapa lo. Tapi setidaknya lo sadar diri, kek! Dia udah nangis-nangis disana gara-gara lo!"

"Terus urusannya sama gue apa?"

Gadis itu memejamkan matanya frustasi seraya menghela napas panjang yang berlebihan. Ia membuka matanya kembali dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Lo. yang. udah. bikin. dia. nangis. Ngerti?" Gadis itu memberikan penekanan pada setiap kata, seolah sedang mengajarkan Bahasa Indonesia pada anak TK.

"Why me? Udah jadi hak gue, kalau gue nggak terima bekal yang dia kasih, kenapa dia harus nangis?" Ryan tetap berusaha membela diri. Dia sebenarnya tahu, kalau dirinya salah. Tapi ia terlalu gengsi untuk mengakui kesalahannya.

"Tapi kan lo bisa dengan cara yang lebih lembut, nggak usah sampe buang ke tempat sampah! Lo sama aja udah buang-buang makanan, tau nggak?!"

Ryan menghela napas kesal seraya bertolak pinggang. Baru kali ini ia menemukan spesies langka macam gadis ada dihadapannya ini. Mungkin gadis itu adalah satu-satunya spesies yang berhasil menantang emosi Ryan dan membuatnya kesal setengah mati.

Ryan lantas maju mendekatkan dirinya ke gadis itu, membungkukkan badannya, dan mensejajarkan wajahnya dengan wajah gadis itu. Tatapannya tajam dan menusuk.

"It's none of  your business. Ngerti?"

Dan setelah itu, Ryan melenggang pergi meninggalkan gadis itu tanpa memerdulikan reaksi gadis itu selanjutnya.

[.]

"Eh, guys! Gue punya kabar baik!"

Ryan yang tadinya nyaris tenggelam  kedalam alam bawah sadar, harus  tertarik kembali ke permukaan setelah mendengar suara Suga yang nyelekit di telinga.

Untuk kesekian kalinya di hari ini, Ryan menghela napas kesal.

"Ada anak baru di kelas 11 IPS! Nggak terlalu cantik, sih. Tapi manisnya kebangetan, coy! Serasa pengen gua jilat! Pindahan dari Makassar katanya."

Ryan berdecak kesal. Ia mengubah posisi tidurnya dengan meletakkan kedua kakinya diatas meja dan menyandarkan kepalanya di sandaran kursi.

"Serius lo? Kayak gimana anaknya?" tanya salah satu cowok dalam kumpulan itu.

"Pokoknya manis. Kulitnya gelap. Rambutnya sebahu, matanya indah warna cokelat, hidungnya mancung, terus ada lesung pipi. Gila, pingin gue pacarin tuh cewek."

Tunggu.

Sepertinya Ryan mengenal ciri-ciri itu.

Rambut sebahu, bola mata cokelat, lesung pipi...

Tiba-tiba saja wajah gadis yang beradu mulut dengannya tadi, muncul di kepalanya. Gadis yang membuatnya kesal tadi pagi, gadis yang berani menyuruhnya meminta maaf, gadis yang menantang emosinya. Ternyata dia anak baru.

"Namanya siapa?" salah satu anak bertanya. Diam-diam, Ryan mendengarkan, menanti jawabannya.

"Brigitta Azhelia. Panggilannya Gita, deh, kayaknya."

Gita?

"Behh, namanya aja cantik. Pantes orangnya juga cantik. Ah elah, kenapa dia harus di IPS sih, kampret?"

"Tau, ya? Kenapa nggak disini aja, coba? Kenapa yang cantik-cantik selalu ke IPS?"

"Nggak tahu, tuh. Nggak pa-pa lah! Yang penting, 'kan kita masih satu sekolah, pak."

Elah.

Ryan mendadak bangkit dari duduknya, namun tanpa menarik perhatian siapapun. Ia malas harus mendengar celotehan panjang bocah-bocah alay tentang gadis belagu itu. Kupingnya terasa panas.

Ia membawa kakinya keluar kelas, berencana menuju ke UKS, salah satu tempat favoritnya dalam menyindiri.

Namun ditengah perjalanan, sialnya ia malah bertemu dengan Pak Roni, guru Matematika yang super galak, yang sepertinya akan ke kelas Ryan karena memang pelajaran pertama-nya adalah Matematika.

"Mau kemana kamu?" tanya Pak Roni, matanya menyipit sinis.

"Saya mau ke UKS. Badan saya lagi nggak enak, Pak."

"Badan nggak enak, atau kamu pingin tidur?" tanya Pak Roni sengit.

"Kalau badan nggak enak, Bapak ngapain? Tidur, kan?" balas Ryan dengan entengnya. Sebelum Pak Roni ngomel-ngomel, Ryan langsung melanjutkan, "Kalo gitu, permisi, Pak." Ryan dengan acuh berjalan melewati Pak Roni.

"Heh, jangan mentang-mentang Ayah kamu yang bantu keperluan sekolah ini, kamu bisa seenaknya, ya!" bentak Pak Roni, suaranya menggelegar.

Ryan tidak peduli, melainkan dia tetap meneruskan langkahnya dan akhirnya menghilang dari pengawasan Pak Roni. Masa bodo dengan nilai Matematika-nya. Sefokus apapun Ryan dalam mendengarkan penjelasan Pak Roni, tetap saja dia tidak akan pernah mengerti.

Ya, seperti inilah Ryan Revvie. Cowok jutek nan introvert yang dikenal tidak memiliki perasaan sama sekali. Tidak punya sopan santun. Tidak memiliki belas kasihan. Hanya mementingkan diri sendiri alias egois. Jarang mengikuti pelajaran. Tidak punya teman. Lebih banyak menghabiskan waktu dirumah. Dan Ryan hanya berpacaran sekali, setelah itu ia tidak pernah membangun hubungan lagi dengan siapapun.

Setidaknya itu yang dilihat orang-orang yang bahkan tidak pernah mengenal dirinya sebelum ini.

Mengapa?

Karena cinta pertamanyalah yang membuatnya menjadi seperti ini.

[.]

Must Date The IntrovertWhere stories live. Discover now