9. Tertatih

2.9K 335 108
                                    

Keiza menggenggam tangan kanan Keenan yang sedang berdiri di samping kursi rodanya. Tak hanya dirinya saja yang sedang memandang suaminya, Abyan, saat ini. Keenan pun demikian. Keduanya memperhatikan Abyan yang akan mengangkat keranda abinya, Ali, bersama Reihan dan kedua omnya. Melihat tatapan kosong di mata Abyan, membuat Keiza tak berhenti meneteskan air matanya. Ia seakan mengulang kembali kejadian beberapa tahun silam ketika bundanya meninggal.

Walau suaminya, Abyan, sudah tak meneteskan air matanya lagi, namun rasa duka yang sangat mendalam bisa Keiza rasakan hingga detik ini. Abyan terlihat sangat rapuh kali ini. Ia hanya mencoba tegar di depan semua orang yang hadir di kediaman kedua orang tuanya untuk mengucapkan salam terakhir kepada abinya.

Air mata Keiza menetes, kala melihat Abyan telah berhasil mengangkat keranda abinya untuk dimasukkan ke dalam mobil ambulance. Karena jarak tempat pemakaman dan rumah duka sedikit jauh. Kepala Keiza segera menoleh ke samping kanan ketika mendengar semua orang berteriak mengucapkan istighfar bersamaan. Tangis Keiza pecah, melihat ibu mertuanya, Prilly, jatuh tak sadarkan diri kembali.

"Astaghfirullahaladzim," ucap Keiza ditengah isak tangisnya, "astaghfirullahaladzim." Ulang Keiza.

Kedua mata Keiza memandang Raka yang membopong ibu mertuanya, Prilly ke dalam kamar. Air mata Keenan pun menetes. Ia belum mengerti, apa yang sedang terjadi. Meninggal, kata yang masih dicerna di otaknya hingga saat ini. Namun, makna dari kata itu belum juga masuk ke dalam otak cerdasnya. Ia sedih, melihat semua orang tampak menangis. Tak terkecuali ayah dan bundanya.

"Bunda, Ayah mau kemana? Kenapa Pepo di masukkan ke tempat itu?" cerca Keenan yang membuat Keiza menyeka air matanya.

"Ayah mau memakamkan Pepo. Pepo ...," Keiza tak bisa melanjutkan ucapannya ketika menatap Keenan yang sedang menatapnya dengan mata yang berkaca - kaca.

"Apa Keenan nggak bisa melihat Pepo lagi?" tanya Keenan yang membuat Keiza menangis kembali.

"Pepo sudah pergi meninggalkan kita," jawab Keiza yang membuat Keenan menangis.

"Kenapa? Kenapa Pepo pergi?" ujar Keenan.

Keiza segera memeluk anak lelakinya dengan erat. Mengusap punggung Keenan berulang - ulang kali. Keenan menangis tersedu - sedu. Kedua tangannya memeluk leher bundanya dengan erat. Putri menyeka air matanya sembari berjalan menghampiri Keiza. Ia merentangkan kedua tangannya untuk memeluk Keiza dan Keenan.

"Jangan menangis lagi! Kasihan Pepo," bisik Putri di telinga Keiza dan Keenan.

Keiza menyeka air matanya lantas menyeka air mata Keenan. Kemudian membenahi baju Keenan, dan memegang kedua lengan Keenan dengan lembut.

"Jagoan Ayah dan Bunda nggak boleh menangis!" Tutur Keiza yang disambut anggukan kepala okeh Keenan.

Keiza tersenyum simpul, "Bunda boleh minta tolong tak sama Abang?" tanya Keiza yang disambut anggukan kepala kembali dari Keenan.

"Sekarang, Abang temani Memo ya! Buat Memo tersenyum dan tertawa lagi seperti biasanya. Abang bisa?" pinta Keiza.

"Iya, nanti Keenan akan menemani Memo," ucap Keenan.

"Jangan menangis di depan Memo! Janji?" pinta Keiza sembari mengangkat jari kelingking tangan kanannya ke depan wajah Keenan.

"Janji!" Ucap Keenan lantang saat jari kelingking mungilnya bertautan dengan jari kelingking bundanya.

Keiza dan Putri tersenyum menatap Keenan. Tangan kanan Keiza mengusap pucuk kepala Keenan dengan lembut. Sebelum Keenan beranjak pergi menuju kamar memonya.

"Bang Alif mau ikut?" ajak Keenan kepada Abang sepupunya, anak Aka dan Putri.

"Mau," sahut Alif yang menyambut uluran tangan Keenan.

YOU Extended VersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang