Bab 2

447 21 4
                                    


Saat SMA, tempat duduk siswa tidak diatur secara tetap, alias bisa berpindah tempat duduk setiap harinya. Meski begitu, aku selalu duduk di tempat yang sama. Di pojok kiri belakang di dekat jendela. Dan walaupun siswa yang duduk di bangku sebelah kanan dan depanku selalu berubah-ubah, tapi tak satupun dari mereka yang berhasil menjadi temanku. Aku tidak tahu apakah itu berarti aku yang tidak beruntung, atau mereka yang tidak beruntung karena tidak menjadi temanku.

Bangku sekolah di SMA tidak seperti bangku saat SMP. Saat SMP bangku siswa berukuran panjang dan bisa ditempati oleh dua orang siswa, karena itu lahirlah sebuah istilah "teman sebangku". Karena istilah itu juga aku jadi terselamatkan dari pertanyaan-pertanyaan yang menganggu. Karena istilah tersebut, secara tidak langsung aku merasa mempunyai teman. Tapi di SMA, bangku siswanya lain, satu bangku untuk satu siswa. Jadi aku tidak mungkin bisa mempunyai teman, meskipun hanya istilah "teman sebangku".

Aku sering diselamatkan oleh istilah itu, seperti misalnya saat aku ingin mengajak orang tuaku untuk membeli buku. Mereka akan bilang,

"Kenapa tidak mengajak temanmu saja, kau punya teman bukan?"

Kalau sudah ada pertanyaan seperti itu aku menjadi gugup, "Ya, tentu saja... Aku punya teman sebangku," itu yang selalu kukatakan kepada mereka.

Tapi pada kenyataannya, aku tak kunjung memiliki teman. Teman 'sebangku' itupun sebenarnya tidak memiliki hubungan yang akrab denganku. Dia adalah tipe anak yang karakternya sangat berlainan denganku, dia sangat supel dan mudah bergaul. Dia punya banyak teman dan pergaulan yang luas, dia tidak hanya mengenal anak satu kelas tapi juga dari kelas lainnya, bahkan dari angkatan yang lebih senior. Karena karakter yang tidak ada kecocokannya sama sekali itulah, alhasil setiap bahan pembicaraan yang coba dia atau aku sampaikan untuk membangun hubungan pertemanan malah berakhir dengan kekikukan, baik dari dia atau aku sendiri. Ya, tapi mungkin bisa dibilang yang paling sering menggagalkan proses tersebut adalah aku.

Bagaimana tidak kikuk dan gusar, jika yang dia jadikan bahan pembicaraan adalah masalah 'kerumahtanggaan' para remaja yang memanggil pacarnya dengan 'mama' dan 'papa' itu. Aduh berat sekali hidup ini. Agar terkesan aku peduli dan memperhatikannya, aku hanya mengangguk dengan setengah-setengah dan memberikan balasan senyuman yang samar dan pasti terlihat unsur keterpaksanaan di dalam senyuman itu.

"Bro, kau sudah pernah merasakan rokok Mild yang baru belum?" Tanyanya suatu hari.

"Tidak," jawabku.

"Oh rasanya enak sekali, aku tidak pernah merasakan yang seperti itu, rasanya saat itu aku seperti tidak sedang menghisap rokok, karena rasanya begitu nikmat. Tidak hanya rasa manis yang getir seperti rokok koboi itu, tapi ada rasa mint dan segar di dalamnya. Kau tahu, asapnya bahkan sangat enak dihirup!"

Bodoh sekali anak ini, kenapa juga dia harus menghirup asap rokok! Bahkan monyet paling tolol di hutan rimbapun takkan mau melakukannya.

"Kau tahu, saat aku buang air besar kemarin siang, aku tiba-tiba terbatuk-batuk, dan aku bisa melihat ternyata ada asap yang keluar dari mulutku."

Aku tidak tahu kenapa ia mengatakannya dengan sangat bangga, seolah ia sedang menceritakan sebuah kisah tentang kemenangannya dalam lomba cerdas cermat.

"Asap rokok?"

"Iya."

"Jadi kau buang air besar sambil merokok?"

"Tidak. Menurutku, asap yang keluar dari mulutku itu berasal dari dalam tubuhku, sisa asap rokok yang kuhirup sebelum buang air."

"Apa kau tidak percaya? Tanyanya."

The Introvert (sudah diterbitkan. tunggu POnya atau beli di toko buku)Where stories live. Discover now