Kami berdua menyerahkan diri dan pasrah sepenuhnya kepada keheningan. Mungkin suatu hari kita akan lelah pada keheningan, dan meninggalkannya. Tapi itu tak apa, selama kita melakukannya bersama-sama.

Dari cermin itu yang kulihat sekarang hanya cahaya terang dan keindahan. Begitu berbeda dengan diriku beberapa tahun yang lalu. Kalau aku bisa menceritakannya, aku bisa menjelaskannya dengan begitu terperinci dengan segala apa yang kurasakan dan kugejolakkan dalam hatiku. Sebuah kisah yang mungkin akan dianggap gelap oleh orang lain.

Pagi di taman waktu itu, aku mulai mengingat-ingat kembali kehidupanku saat masih SMA.

***

Di siang yang ruwet, seorang siswa di depanku berbicara dengan temannya, ia bilang kalau hari minggu kemarin, ia baru saja pergi ke kolam renang, dan di sana ia bertemu dengan banyak cewek cantik dengan tubuh mengkilap. Anak yang ia ajak bicara sepertinya hanya terbengong-bengong saja dan membayangkan cerita temannya itu.

Aku hanya berpendapat bahwa kolam renang, pantai, dan tempat-tempat semacam itu, hanyalah sebuah tempat di mana orang-orang mesum dengan bangganya memamerkan tubuh dan otot-otot mereka, kepada orang mesum lainnya. Heh, memalukan. Tempat yang melegalkan dan membenarkan aksi mereka untuk membuka baju di depan umum. Orang mesum sangat menyukai tempat-tempat itu. Memamerkan tubuh di kolam renang? seperti monyet saja.

Betapa inginnya aku menyampaikan pendapatku, tapi hal itu pasti hanya akan memulai perdebatan yang sia-sia, dan aku tidak menyukainya. Bukankah perdebatan adalah hal yang kurang produktif. Dunia ini dipenuhi oleh orang-orang yang tidak peduli pada kebenaran, mereka hanya akan memepertahankan pendapatnya secara mati-matian dan membabi buta. Tanpa obyektifitas dan sikap kstaria untuk menerima kebenaran.

Ketika ada guru yang berhalangan mengajar, maka pada jam pelajaran itu para siswa diperbolehkan melakukan apa saja. Dan bagiku hal itu bermakna diam di tempat, hingga semua menjadi aman dan terkendali lagi. Jangan menoleh-noleh apalagi membuat kontak mata. Itu bisa menarik seseorang untuk mengajakmu mengobrol. Mengobrol? Bukankah itu bagus, itu yang selama ini aku inginkan. Tapi....

Para siswa hanya bermain-main dan berlarian di kelas. Tidak tahu apa yang harus diperbuat ketika guru pengajar tidak masuk. Beberapa dari mereka berlari ke arahku, kemudian menabrakkan diri ke mejaku dan membuat buku yang sedang kubaca jatuh. Sampul buku The Wonderful Wizard of Oz-ku sobek. Kedua anak itu hanya tertawa dan berlari pergi tanpa meminta maaf atau mengambilkan buku yang mereka jatuhkan.

Kenapa kalian tidak mati saja! Daripada membuat orang lain susah. Orang-orang tidak beradab dan tidak memiliki masa depan. Semoga besok mereka menjadi kotoran, lahir sebagai kotoran selamanya, kukutuk mereka dari dalam hati.

Suhu di musim hujan yang kering ini jadi tambah panas beberapa derajat jika di dekat mereka. Apa salahku sehingga aku harus menerima semua ini. Apakah aku yang menyebabkan kutub utara mencair? Apakah aku yang menyebabkan kematian perempuan dan anak-anak di Timur Tengah? dan menciptakan era kejatuhan moral manusia?

Ada yang bilang jika keimanan kita semakin kuat maka cobaan kita akan semakin besar. Bukankah itu seperti semakin kau bekerja keras maka kau akan semakin miskin. Kenapa Tuhan membuat aturan seperti itu. Itu terkadang membuatku berpikir untuk tetap membuat imanku biasa-biasa saja, agar cobaan yang diberikan kepadaku juga tidak terlalu berat. Tapi aku sendiri tidak puas dengan jawaban itu.

Dalam kekesalan yang semakin memuncak, aku mengambil buku tulis dan pena dari kolong mejaku. Aku ingat pada sebuah tugas yang diberikan guru dari mata pelajaran bimbingan konseling yang menyebalkan itu. Semacam tugas untuk menulis sebuah tulisan atau esai dengan gaya penulisan bebas mengenai kehidupan sosial dari sudut pandang pribadi.

The Introvert (sudah diterbitkan. tunggu POnya atau beli di toko buku)Where stories live. Discover now