Bab 1

1.3K 37 16
                                    


Dengan latar belakang bunga-bunga seperti di taman firdaus, roman mukanya yang kulihat dari samping benar-benar menghipnotis dan menjerumuskanku pada berbagai ingatan dan khayalan. Dalam salah satu ingatan-ingatan itu, ia terlihat seperti potret dalam lukisan Women Reading karya Jon Uban yang pernah kulihat di sebuah majalah. Lukisan tentang potret seorang wanita yang sedang duduk di sebuah bangku, di tengah taman bunga. Bangku itu dikelilingi oleh bunga-bunga berwarna ungu, dan macam-macam bunga lainnya. Dengan imajinasiku, kubayangkan bunga-bunga itu adalah bunga lavender, allium ungu dan bunga cosmos.

Wanita dalam lukisan itu mengenakan gaun berwarna biru langit dengan selendang polos berwarna hitam menyelimuti punggungnya dan kedua ujung selendang itu menyampir di lengan kanan dan kirinya. Kaki kirinya disilangkan di atas kaki kanan. Dan sepasang sepatu warna merah yang anggun, sangat cocok untuk kaki wanita itu, membuatnya semakin terlihat indah. Kedua tangannya membelah sebuah buku dan bisa kulihat ia memeganginya dengan lembut. Tapi sayangnya wajah wanita itu tertutupi oleh cartwheel hat yang kuning terang, dengan pita berwarna hijau melingkar di sekeliling crown-nya yang bulat. Brim-nya yang bergelombang sedikit dicondongkan ke muka, sehingga hanya menyisakan sedikit bagian dari wajah wanita itu berupa penampakan mulutnya.

Tapi, bisa kubayangkan kalau-kalau wajah wanita itu tak lebih menentramkan jika dibandingkan dengan wajah gadis di depanku ini. Bahkan jikalau di sekeliling wanita itu ditambahi dengan keindahan surgawi bunga aster, zanbaqah dan monkshood. Sinar matahari pagi itu tak berani mendekati sosok yang ada di sampingku ini, karena tahu bahwa dirinya akan sirna di dekat gadis ini.

Rambutnya yang kulihat saat ini masih sama pendeknya seperti dulu, rambut yang hanya mampu menyentuh bahu dan tak pernah menutupi punggung yang selalu kulihat dari belakang. Wajahnya menciptakan sebuah ruang yang merupakan sebuah garapan final dari sang maha pencipta. Alis, bibir, hidung dan mata yang tak mungkin dicibir. Telinga kirinya tampak, dan terlihat sangat pas dengan anting-anting yang dikenakan. Aku terus memperhatikannya, dan ia membiarkanku sebagaimana inginku. Ia telah begitu pandai dan tahu betul bagaimana memperlakukanku. Ia bahkan menambahkan senyuman dan sepintas melirik dengan bola mata binar yang menyilaukan.

Sekarang cuaca sungguh sangat cerah dan indah, angin bertiup membawa kesegaran yang hangat.

Ia adalah cerminku. Setiap gerakku seirama dan sejiwa dengannya, darahku serasa juga mengalir dalam darahnya. Dan membuat segala apa yang ada dalam diri kita menjadi padu, di dalam dan diluar, dari apa yang tampak hingga melampaui apa yang tak tampak.

Ia yang ada di dalam cermin itu, seperti sebuah potongan kaca yang melengkapi nihilitas dan pecahan dalam cermin tersebut, yang sebelumnya membuatku sedih ketika bercermin di dalamnya. Karena aku melihat ada lubang di dalam diriku, yang tak bisa kutemukan ketika aku melihanya secara langsung tanpa pantulan cermin. Yang kala itu seperti menunjukkan sebuah kebenaran.

Pagi itu, kita berbagi keheningan yang sama. Bersama keheningan itu, kita semakin dekat dan memiliki. Kita mengekspresikan jiwa dalam nafas, dalam pandang sorot mata yang memuja. Keheningan yang menyatukan kita, ia tenang tak bersuara, tapi penuh ekspresi dalam ketidakterbatasannya. Dalam keheningan, kita memandang, kita berpikir, memahami, mengerti, mengasihi, tersenyum dan menangis. Sebuah perasaan yang pernah kurasakan tiga tahun lalu saat melihat sebuah lukisan dari seorang gadis di dalam kelas lukis.

Ia yang memisahkanku dari delusi. Pikiran atau pandangan yang tidak berdasar, kebingungan dalam bentuk yang aneh, yang mengejar-ngejarku, atau aku yang mengejar-ngejarnya? Memang, aku memburu seorang teman yang sepertinya, yang kini telah mengorbankan diri untuk menjadi bayanganku sendiri. Hanya agar aku lepas dari khayal segala apa yang ideal, yang bersumber dari idea dan visi.

The Introvert (sudah diterbitkan. tunggu POnya atau beli di toko buku)Where stories live. Discover now