5

9.3K 1.1K 37
                                    

Dia pikir aku di sana hanya pajangan. Sudah kutahan dari awal datang nyatanya dia makin menyebalkan. Perlu kusebutkan yang kumaksud dari dia itu siapa. Siapa lagi kalau bukan Ardo. Kesal setengah mati aku rasanya.

Nyesek tahu lihat dia dikit-dikit noleh ke arah Aya bahkan langsung cekatan membelikan minum saat Aya bilang minumnya habis. Kuhabisi juga dia!

Aku bahkan yakin Nio tahu kelakuan Ardo tapi aku heran kenapa Nio hanya diam. Aku saja yang baru kenal dia langsung tahu. Sialan benar memang cowok satu itu.

Daripada aku makan hati aku pun memilih pulang sendiri tanpa pamit. Awalnya Hekal menelponku jadilah aku pergi tapi setelah aku balik aku harus melihat tontonan yang terlalu menarik. Rasanya aku ingin nyolok mata Ardo saat itu juga. Susah banget sih matanya itu buat biasa saja kalau menatap Aya.

Aku sempat berpapasan dengan Nio tapi aku mengabaikan panggilannya, pura-pura tak melihat dan berakting mengangkat telpon sambil jalan. Aku terlalu hebat untuk hal seperti ini. Bukan karena aku sering berbohong, tapi aku itu pandai mengatur ekspresiku. Harusnya aku jadi artis saja bukan jadi pegawai kantoran yang berangkat pagi pulang sore, monoton tapi tetap kulakukan.

Setelah memesan taksi dari aplikasi ponsel, hanya menunggu 10 menit aku pun sudah di dalam taksi. Aku memilih pulang ke apartemem Hekal walau pun lumayan jauh dari tempatku dan tempat kerjaku.

Aku yakin 100% si cowok bego itu akan ke apartemenku setelah menyadari aku tak ada. Entah kapan dia menyadarinya aku tak mau berharap. Karena aku memang bukan prioritas hatinya. Dia hanya suka, bukan sayang apalagi cinta.

Sedih tentu saja, kecewa apalagi. Lalu apa aku harus menangis? Cukup lama aku lupa namanya menangis, terakhir kali saat putus cinta dengan pacar terakhirku yang memilih karirnya dibanding tetap bersamaku. Ah, aku jadi mengorek luka lama.

Kali ini aku tak akan menangis walau aku kecewa. Dia belum berarti banyak untukku dan aku tak ada keinginan menjadikan dia berarti untukku untuk saat ini.

Akhirnya aku sampai di apartemen Hekal. Dia kaget mendapatiku di apartemennya, seolah aku itu hantu yang tiba-tiba muncul di hadapannya.

"Ngapain ke sini?"

"Nggak lagi ada cewek kan?" tanyaku balik.

"Abang kan baru putus," jawabnya lesu lalu memunggungiku, berjalan masuk terlebih dulu.

"Aku mau nginep sini."

"Bukannya kamu mau pulang sama pacarmu."

"Jangan sebut-sebut dia. Bikin darah tinggi."

"Katanya dia nggak pernah marah."

"Aku nih yang lagi marah bukan dia, Bang. Emosi nih emosi."

"Calm down, Baby," katanya menarikku mendekat. "Butuh bantuan?"

Kulirik Hekal dan senyum asimetrisku langsung menukik, tak berbeda dengan Hekal yang memancarkan mata jahilnya. Kami itu kompak, kompak dalam segala hal. Betapa beruntungnya aku memiliki kakak seperti dia. Mau punya pacar pun, dia selalu ada untukku. Tapi aku bukan anak tipe anak manja jadi kami adalah paket anak yang sempurna.

***
Setelah benar-benar bisa meluruskan punggung di kasur. Kucoba membuka ponselku yang sejak tadi berbunyi tak ada hentinya. Geli sekaligus kesal sendiri melihat notifikasi yang menumpuk. Kucek waktunya ternyata butuh waktu hampir satu jam dia baru menyadariku hilang. Dasar cowok bedebah!

Next GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang