3

10.9K 1.2K 31
                                    

ASHA SASMITY

Semakin ke sini aku semakin curiga dengan Ardo. Aku memang bukan cewek jenius. Tapi aku juga bukan cewek bodoh. Oke, aku memang akhirnya pergi juga dengannya untuk makan malam. Walaupun aku sebenarnya malas tingkat nasional.

Bagaimana aku mau senang diajak dinner olehnya kalau dia saja sudah bikin aku memiliki tanda tanya besar. Pertama, makan siang tadi aku dikejutkan dengan penampilannya yang berbeda. Pertemuan pertamaku dengannya saja aku sudah menilainya tampan apalagi saat dia menjemputku untuk makan siang tadi. Dia bak sulap berubah jadi super model majalah dewasa. Tapi aku malah jadi semakin takut. Cowok nyaris sempurna itu mau jalan denganku makan siang bahkan dia memaksaku. Aku jelas bukan tipe cewek yang suka kegeeran. Aku masih waras menggunakan logikaku.

Kedua, aku tak suka dengan sikapnya yang terlalu manis padaku tapi matanya menatap sudut lain yang membuat senyumnya mengembang. Aku memang bukan detektif tapi aku terlalu peka dengan hal semacam itu. Dia menyukai temanku yang sudah bersuami. Itu feeling-ku walau belum bisa kubuktikan secara nyata. Tapi mengamati makan siang tadi aku berasa jadi hiasan dinding yang hanya bisa mengamati diam-diam.

Akhirnya sekarang ini aku berada di mobilnya untuk makan malam. Dan sempat ada tragedi karena abangku tiba-tiba saja sudah bertengger manis di depan apartemenku dengan tampang kusut ala-ala cowok patah hati sebelum Ardo datang. Aku tak mau Ardo banyak tahu tentangku yang artinya itu bisa jadi kelemahanku.

Setelah aku bicara berputar ke sana-ke mari memancing Ardo, terkuak sudah bahwa dia memang cowok gagal move on. Bagaimana aku harus mengiyakan ajakannya untuk jadi pacar kalau dia saja cowok gagal move on begitu?

Dan dia bilang mau jadi suamiku agar bisa mengaturku, yang benar saja. Dia sungguh membuatku ingin tertawa lebar. Motivasinya saja tak jelas begitu, mana mau aku meladeninya dengan serius. Menghabiskan masa kebebasanku sia-sia namanya.

"So, bagaimana? Kita jadi partner?"

"Partner buat ngeyakinin orang lain kalau kamu udah move on? Terima kasih, aku nggak mau. Nggak ada untungnya buatku."

"Apa hidupmu harus berkutat dengan keuntungan?"

Aku mendengus geli, sungguh dia tipe cowok yang tak gampang menyerah dan suka memutar-mutar kata. Tapi aku tak mau kalah begitu saja. Hidup tanpa keuntungan mau buat apa, apalagi kalau aku mengiyakan yang ada aku rugi. Untuk apa hidup kalau rugi.

"Aku suka padamu apa itu kurang?"

Aku semakin tertawa dibuatnya. Suka? Astaga, baru bertemu 3 kali itupun atas paksaan dia bilang suka. Dia pikir itu saja cukup.

"Just it?" tanyaku. "Matamu saja memandang ke arah lain bilang suka. Kamu pikir aku bocah ingusan. Hidup di jaman apa sih kamu?"

"Aku berharap banyak padamu. Ayolah, aku nggak mau kita cuma jalan tanpa kepastian."

Sungguh kali ini aku terbahak sangat keras. Bayangkan saja baru kenal ada seseorang minta kepastian. Dia sungguh luar biasa jadi orang. Perutku samai sakit dibuatnya dan tiba-tiba dia menarik tanganku dan digenggamnya. Tawaku seketika berhenti sat mata hitam pekatnya menatap tepat di kedua mataku.

"Apa?" tanyaku yang mulai gugup. Siapa yang tak akan gugup dipandang seperti itu oleh lawan jenis.

"Baiklah, aku tak akan memaksa. Tapi ijinkan aku dekat denganmu."

Next GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang