Chapter 2

15.5K 827 11
                                    

Happy Reading & Enjoy All

Larissa masih termenung memikirkan sebab kenapa lengannya bisa tergores seperti ini. Lukanya memang tidak parah, hanya sebuah goresan panjang. Tapi tetap saja, yang namanya terluka adalah hal yang menakutkan.

Perempuan itu mengingat-ingat apa saja yang dia lakukan semalam yang bisa saja memicu goresan ini. Tidak ada. Dia hanya minum dengan Alice lalu tidur dengan lampu temaram.

Apakah mimpi bisa dihitung? Benak Larissa bertanya-tanya.

Ya, semalam dia bermimpi. Mimpi yang sangat buruk, tapi tidak, itu tidak terlalu buruk karena dia sudah sering mengalaminya. Sebuah mimpi dimana Larissa ada di suatu tempat yang gelap dengan seseorang yang tak dikenalnya. Dan orang itu yang melukai lengannya dengan pisau.

Itu hanya mimpi, lagi-lagi Larissa meyakinkan dirinya sendiri. Sebuah mimpi tidak mungkin jadi kenyataan, kan? Tapi tunggu... bisa jadi itu bukan mimpi. Dan pemikiran ini langsung membuat Larissa merinding.

Semalam setelah berhasil bangun dari mimpi buruknya, Larissa mendapati kamarnya begitu dingin. Dan setelah dia menemukan penyebabnya, ternyata sliding door yang menghubungkan kamarnya dengan balkon terbuka lebar. Larissa tidak berfikir yang aneh-aneh. Perempuan itu hanya menutupnya, lalu kembali tidur.

Dan pagi harinya dia mendapati luka ini. Luka yang sama persis dengan yang ada di mimpinya. Apa benar itu bukan mimpi? Larissa ketakutan. Dia mengepalkan tangan kanannya untuk menutupi rasa takutnya itu.

Apa dia datang lagi?

Bagaimana mungkin dia ada di kamarku?

Dua pertanyaan itu terus berputar di otaknya. Orang yang tak mengenal Larissa pasti akan berdecak kagum dengan kehidupan perempuan itu, tapi itu tak akan terjadi jika orang itu mengenal Larissa dengan baik. Yang benar adalah dia akan berdecak kasihan, bukan kagum.

Kehidupan Larissa sangat buruk di masa lalu dan ketakutan akan hal buruk dari masa lalunya itu masih terbawa sampai sekarang.

"Ahh! Pelan-pelan, Eve. Sakit." Larissa bersuara jujur.

Alice berdecak kesal. "Aku tahu, tapi tetap saja aku harus mengobatinya. Aku tidak ingin luka ini infeksi. Tunggu sebentar, oke?"

Larissa mengangguk dengan perasaan berkecamuk. Dia takut, sakit, khawatir, dan masih banyak perasaan lainnya.

"Coba ingat-ingat kenapa kau sampai terluka seperti ini?"

Larissa ingat, tapi dia tak akan memberitahu Alice. Meskipun Alice dan dirinya sangat dekat, tapi untuk masalah ini Larissa tak bisa memberitahunya. Ini masalah pribadi. Masalah yang hanya dirinya dan kakeknya yang tahu.

Larissa menggeleng, lalu menunduk untuk menutupi kebohongannya.

"Pagi ini kau ada pertemuan dengan Mr. Winstone untuk fitting, lalu siang nanti kau akan pemotretan. Bagaimana bisa kau melakukannya dengan lengan terluka parah seperti ini..." Gerutu Alice.

"Jangan khawatir, ini hanya luka kecil." Larissa mencoba menenangkan. "Kita bisa menutupinya dengan make up."

"Ini luka baru, Joey! Bagaimana kau bisa menutupinya dengan make up, huh?"

"...."

"Kita akan ke dokter saja, aku sudah tak sanggup mengobatinya. Sebentar lagi aku mungkin akan muntah mengingat darah yang sudah mengering di lukamu tadi. Dan mungkin saja luka itu butuh jahitan..."

Larissa menggeleng menghentikan kalimat Alice yang sepertinya masih panjang. "Aku baik-baik saja, percayalah. Lanjutkan pekerjaanmu dan kita harus bersiap-siap menemui Alexander Winstone."

Supermodel | #1 Winstone's SeriesWhere stories live. Discover now