Aku memutuskan menolak panggilan tersebut lalu mematikan ponselku dan menaruhnya ke dalam tas tepat setelah kudengar pengumuman bahwa pesawatku sudah tiba di bandara. Lebih baik aku tidur sesaat selama perjalanan sebelum menghadiri malam acara launching produk layanan baru perusahaan kami.

****

Hours later, everything just back to normal, I wish. Tapi, harapan dan realita memang nggak selalu sejalan. Manipulasi bisa saja dilakukan, namun sifatnya sementara. Nyatanya, perasaanku tak kunjung membaik bahkan setelah obrolan singkatku dengan Audi.

Sebuah mailbox masuk begitu aku memeriksa ponselku sesampainya di hotel. Pesan suara dari penelepon tak kukenal saat di bandara tadi. Agaknya aku merinding. Takut kalau ternyata itu pesan berisi ancaman atau semacamnya. Siapa yang tahu?

Pernah sekali aku mendapatkan pesan suara semacam ini dari nomor tak dikenal. Yang kudapati suara lelaki setengah mabuk yang mengancam akan mendatangiku ke kantor. Katanya aku pernah mempermalukannya di depan umum. For God sake, aku nggak merasa pernah melakukan hal semacam itu. Kalaupun memang pernah terjadi, aku berani bersumpah hal itu di luar keinginanku.

Kadung penasaran, aku pun membuka pesan suara tersebut dan tak pernah menyangka mendapatkan pesan suara semacam ini.

"Hai... Kaia. Saya nggak yakin kamu ingat nama saya, tapi mungkin kamu masih ingat dengan suara saya. Sebelumnya... saya mau minta maaf, sepertinya sikap saya kepada kamu sedikit keterlaluan. Seandainya kamu masih memberi kesempatan, saya berharap bisa... tut... tut... tut...--"

Aku memandang layar ponselku kebingungan. Aku ingat siapa nama penelepon itu, aku juga ingat persis dengan nada suaranya yang sedikit serak dan berat. Aku cuma terkejut terlalu terkejut bahkan untuk memaki siapapun penginterupsi pesan suara yang sedang Rezka sampaikan padaku.

Tapi tunggu, bukannya dia membuang tisu pemberianku waktu itu? Jadi?

Aku menggenggam ponselku erat di depan dada lalu meluncurkan tubuhku ke atas kasur saking gembiranya. Kulempar bantal kasur ke langit-langit kamar hotel seperti bocah kecil yang baru mendapatkan mainan baru. Persis seperti Jasmine setiap kali kubelikan boneka Barbie yang diinginkannya.

I hate this. I hate whenever I just can't calm down my self. Kalau kata lagu dangdut yang pernah dinyanyikan Lana semasa kami SMA dulu, aku ini korban budak cinta. Ya, jatuh cinta memang membuatmu bodoh. Kalau boleh lagi meminjam istilahnya Audi,

"Namanya juga orang lagi kasmaran. Kotoran sama coklat nggak bisa bedain!"

Dan aku yakin si gadis saklek itu akan langsung menoyor kepalaku dan menghujaniku dengan kata-kata pedasnya karena mau-maunya menjadi korban lagu dangdutnya Alana. Ah, Budak cinta.

Aku terduduk di atas kasurku lalu kembali memandangi layar ponselku. Bisa apa? Rezka berharap bisa apa? Kenapa harus putus di tengah jalan?

Keningku berkerut memikirkan apa yang harus aku lakukan sebagai balasan pesan suaranya itu. Aku biarkan saja? tidak bisa, nanti dikiranya aku sudah tidak mau berhubungan dengan lelaki itu. Aku telepon balik? Ah, terlalu agresif. Aku tidak mau bertindak bodoh seperti saat pertemuan pertama kami. Aku kirimkan pesan?

Ah, ya, benar. seperti itu saja.

To: +628125666xxxx

Been busy til tonight. Call me tomorrow morning.

Aku tersenyum geli sendiri membayangkan reaksi Rezka begitu menerima pesanku.

****

Peresmian produk layanan baru perusahaan kami berjalan lancar. Penampilanku tak kalah ramai mendapatkan sanjungan dari beberapa petinggi perusahaan cabang di Singapura. Mereka menyayangkan ketidakhadiran Yosi namun cukup puas dengan perwakilanku tadi malam. Acara berlangsung ramai hingga tengah malam. Sekembalinya aku ke kamar hotel, aku langsung terlelap.

The Bridesmaids Tale #2: Portrait of a LadyWhere stories live. Discover now