Bab 8 Melukis Dendam A

Mulai dari awal
                                    

Albar berdiri di sisiku, menepuk bahu sebelum bicara. "Kurasa kamu salah menyimpulkan sesuatu. Ayana tidak bermaksud menutupi pernikahannya. Mungkin, dia memilih keputusan untuk merahasiakan karena diminta Rakryan."

"Tapi, aku adalah adiknya." Sahutku meninggikan nada bicara.

"Dan Rakryan adalah suaminya." Balas Albar tepat sasaran. Aku sampai meringis mendengarnya. Tidak menyangka jika kalimat itu berhasil melukaiku. "Apa rencanamu?"

"Apa kamu dan Kak Ayana pernah saling menyukai?" aku kembali menginterogasi. Mata Albar berubah jadi sendu. Dia ikut berdiri di sampingku, menunduk kemudian menghela napas yang panjang seolah-olah berniat mengeluarkan beban berat bersama udara.

"Ayana tidak pernah menyukaiku." Singkat, namun sarat emosi. Albar memasukkan dua tangannnya dalam kantong celana. Sekarang pandangannya menerawang, mengenang sesuatu yang menyakitkan, sepertinya. "Bahkan aku baru tahu bahwa mereka sudah menikah. Pantas saja, Ayana selalu menolak lamaranku. Juga tidak pernah bisa untuk makan bersama seperti dulu. Ketika kami bekerja dalam satu instansi."

***

Aku mau pamit pulang pada Albar ketika berjumpa dengan seorang wanita berjilbab merah marun. Lipstiknya berwarna serupa. Ada beberapa garis-garis keriput di bagian mata dan kening. Namun, make-up mampu menyamarkannya. Dia tampak anggun dalam balutan pakaian formal berwarna kuning kaki. Setelah berbasa-basi dengan Albar, wanita itu masuk diantar pembantu rumah tangga menuju lantai dua. Dia hanya memberiku senyum sekilas.

"Ibunya Rakryan." Albar mendesah lega.

"ASN?" Tanyaku, dari pakaiannya, besar kemungkinan dia adalah pegawai negri sipil. Yang sekarang disebut Aparatur Sipil Negara.

"Iya. Dia adalah pejabat eselon tiga di kementrian perindustrian." Tegasnya, Albar meminum kopi dari cangkir. "Ayah Rakryan adalah pengusaha batubara di Sumatera Selatan. Dan adiknya berkuliah di Jakarta bersama ibunya. Orang tua Rakryan sudah lama tidak tinggal bersama. Tidak akan bercerai, kalau itu yang ingin kamu ketahui. Sebab, perceraian akan ikut mencoreng kualitas Rakryan."

Betapa rumit hidup Rakryan atau keluarganya.

"Apakah menurutmu aku harus meminta pertanggungjawaban Rakryan?" Aku menimang. "Setidaknya, Kak Ayana juga bersalah dan bodoh karena mau dinikah siri. Seberapa dalam pun perasaannya pada Rakryan, kurasa tidak masuk akal mau menikah di bawah tangan."

"Kamu melupakan di bagian Rakryan yang membuat Ayana down dan bunuh diri. Sebagai pria yang bertanggungjawab, seharusnya dia mampu menenangkan kakakmu. Tapi, dia tidak peduli. Jika kamu membiarkannya, aku yakin, ada banyak wanita yang kelak jadi korbannya." Imbuh Albar. Barangkali, korban Rakryan selanjutnya adalah aku.

"Lalu menurutmu, aku harus bagaimana?" tanyaku lugu.

Albar menatapku penuh minat. "Pura-puralah mencintainya. Lalu kita jegal Rakryan dengan skandal kalian. Aku tidak ikhlas kalau kabupaten ini dipimpin oleh pria amoral sepertinya."

Senyumku tersungging. "Sepertinya, aku setuju pada rencanamu." Aku berdiri, mengulurkan tangan untuk menjabat. "Sampai ketemu lagi."

***

"Kak Ayana, berapa banyak rahasia yang kamu sembunyikan dariku?" Aku memandangi tanah makam yang memerah. Beberapa kelopak bunga yang kutabur tadi berkibar terkena angin. "Apakah menurutmu, berbagi cerita denganku sangat merepotkan? Apakah ini yang disebut keluarga?"

Aku menuangkan air di atas kuburan, memandangi papan kayu yang berisi nama, tanggal lahir dan wafat Kak Ayana. Angin yang berasal dari barat membawa aroma kamboja yang mistis. Kupikir akan menangis seperti hari-hari yang lewat, tetapi airmataku sudah mengeras. Tidak akan ada lagi yang akan kutumpahkan.

"Aku mengira kamu adalah tempat untukku pulang. Kemudian aku sadar, kamu membuat cacat semuanya. Orang-orang bercerita buruk tentangmu. Saat itu aku marah karena mulut-mulut yang tidak bertanggungjawab. Rasa-rasanya, jika punya energi, aku akan memberi mereka pelajaran. Satu-dua tamparan mungkin akan mengobati kemurkaanku." Aku berdiri, menjauh dari makam itu.

"Ai," seseorang menyentuh bahuku. "Aiya?"

Aku tidak perlu untuk melihat atau menyahutnya. Yang kuperlukan adalah segera pergi dari sini. Dengan langkah lebar yang serampangan, aku menjauhi Tsabit. Dia malah mengejar, tidak membiarkanku sendirian.

"Aiya, kita perlu bicara." Tsabit memegangi pergelangan tangan kiri. "Tegakkan wajahmu."

Perlahan-lahan kepalaku terangkat. Di belakang Tsabit, ada Saras dan Rakryan. Dua orang itu keluar dari mobil. Mereka berjalan menuju kami. Tidak perlu menunggu lama, aku segera berlari dan menyambar tubuh Rakryan, memeluknya. Tubuh pria itu menegang dua detik kemudian berusaha mendorongku.

"Aku mencintaimu, mencintaimu." Kugumamkan kalimat itu di telinganya.

Belum sempat Rakryan mengatasi shock, aku menciumnya. Kali ini tepat di bibirnya. Aku membuat letupan-letupan kecil pada permukaan bibir Rakryan yang halus dan manis. Ada sekitar tiga atu empat kecupan yang membuat Rakryan gelagapan. Kemudian kuakhiri ciuman itu dengan menekannya bibirnya sangat lama. Ketika aku melepaskan sentuhan intim itu, mata Rakryan menggelap. Sekumpulan amarah disimpan dalam bola matanya yang berwarna hitam. Sekonyong-konyong dia menempatkanku dalam zona paling berbahaya dan dekat dengan kematian; intimidasi yang tidak main-main. Uppss, aku sepertinya melakukan kesalahan besar.

***

Hai. Sori ya lama. Hahaha. Gue lagi dikejar deadline kawin. (Plakk)
Kalian gimana? Masih jomblo, kan?
._.
Gimana bab kali ini? Yuk, share pendapat kalian.

Tabik. SusanArisanti.

Tsuraiya AghniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang