Bab 4 Akal yang Mendendam Hati yang Merindu

35.6K 3.7K 369
                                    

"Yang Mulia," aku menghadang Rakryan begitu ia keluar dari ruang kerja. Di belakangnya ada Kinan yang membawa setumpuk file yang dimasukkan dalam map. Rakryan mengedip, memberiku isyarat agar mau menunggu. Sendi putar leher pria itu bergerak, mengganti fokusnya pada wanita yang berdiri di sebelah kanan.

"Seperti yang kukatakan padamu, katakan juga pada Albar. Aku tidak main-main." Mata Rakryan begitu mengintimidasi. Aku kenal beberapa ekspresi yang ditunjukkan Rakryan. Itu bukan jenis tatapan mengancam yang memukau, yang dibagi Rakryan pada Kinan adalah amarah. "Aku bisa menyeretnya dengan bukti-bukti yang kumiliki. Dan kalau sekarang kamu ada di pihaknya, aku tidak bisa memberi jaminan bahwa kamu akan selamat."

Kinan mengangguk. Ia tidak berani menatap Rakryan. Tiba-tiba, aku teringat gerutuan pria itu; hanya aku yang tidak sopan dan menjaga sikap ketika berhadapan dengannya. Selama ini, aku berpikir bahwa banyak gadis yang terjerat pesona Rakryan. Tapi, hari ini aku harus meralat pikiran itu. Tidak mungkin gadis-gadis menyerahkan hatinya pada makhluk menyeramkan seperti itu. Buat apa tampan, kaya, dan mapan kalau kepribadiannya seperti singa kelaparan? Ugghhh.

"Apa kutinggal 20 menit berhasil membuatmu rindu, B?" Rakryan baru saja melihat jam tangan. Ia tersenyum jahil ketika bola mataku berputar. Kebanyakan melamun membuat tak sadar kalau Kinan sudah pergi.

"Kalau kamu berpikir aku akan menghambur padamu untuk memeluk, Yang Mulia salah besar." Kulipat tangan di dada, menantang Rakryan. Berdebat dengannya jadi hobi baru dan menyenangkan.

"Tidak juga, B. Kalau kamu mau memeluk ada tahap yang harus kamu lalui. Aku memang menyukai gadis cantik, pintar dan berani. Tetapi, aku lebih suka perempuan beradab yang bisa menempatkan diri dan menghargai kehormatannya." Rakryan berjalan menuju teras samping, sementara aku mengekor di belakangnya.

"Apa menurutmu aku tidak bisa menempatkan diri dan menghargai kehormatanku?" Kemudian aku duduk pada sebuah kursi, bersebelahan dengan Rakryan. Tak lama, muncul seorang wanita paruh baya membawa secangkir kopi dan teh. Ia mengangguk santun kemudian undur diri.

"Kamu lihat pohon nangka itu?" Telunjuk Rakryan teracung pada arah selatan. Di sana ada banyak sekali pepohonan, mulai dari nangka, mangga, melon, kedondong, dan kelapa. "Sebagian berwarna cokelat, kuning, hijau tua dan hijau pupus."

"Yang Mulia, perlu diketahui bahwa warna hijau daun disebabkan kandungan klorofil yang terdapat dalam kloroplas, pigmen yang berperan menyeleksi panjang gelombang cahaya yang energinya diambil untuk fotosintesis. Klorofil menyerap semua warna cahaya, tetapi hanya memantulkan cahaya hijau." Entah kenapa, aku seperti tersesat dalam kelas Biologi. Anggap saja Rakryan adalah guru yang mengampu ilmu hayat, jadi wajar saja kalau aku berdiskusi seperti ini dengannya.

"Tapi, ada yang berwarna ungu, kan?" Rakryan menyahut sambil tersenyum. Mimik wajahnya memancarkan ketulusan. Yang justru memicu rasa sesak dalam dadaku. Mana mungkin pria sebaik ini menghamili kakakku?

"Jelas saja, Yang Mulia. Daun memiliki pigmen lain selain klorofil. Misal, karoten, xantofil dan antosianin." Boleh bertepuk tangan sekarang? Kurasa pemenang sebenarnya mulai terlihat.

"Seperti itulah kehidupan, B." Rakryan mengambil cangkir kopi dengan cara yang maskulin. Ia menghirup aromanya sambil memejamkan mata. Ketika terbuka, mata hitam itu seperti lubang cacing yang siap membawaku ke dunia pelangi. "Daun tidak pernah menunggu dewasa untuk dapat bermanfaat. Bahkan meski sudah gugur lalu membusuk, humus bisa digunakan untuk pupuk."

"Apa kamu sedang mempengaruhiku agar berprinsip seperti daun?" Alisku naik sebelah. "Oke, coba dengarkan pikiranku. Aku tidak suka menjadi daun. Terlihat oleh banyak orang. Aku lebih suka menjadi akar. Terpendam dalam bumi, memang, tetapi tanpanya, garam-garam mineral tidak akan terserap. Beda dengan daun, Yang Mulia. Ketika satu daun jatuh, tumbuhan tetap hidup dengan daun yang lain. Aku tidak suka itu."

Tsuraiya AghniWhere stories live. Discover now