Bab 8 Melukis Dendam A

31.7K 3.4K 378
                                    

Seorang satpam membukakan gerbang ketika aku memencet bel. Dia menanyakan nama, alamat dan keperluanku. Setelah menerima informasi, ia mengambil walkie talkie yang menggantung pada ikat pinggang, menghubungi seseorang. Kemudian usai mendapat persetujuan dari pria yang dihubungi-yang kuduga adalah Albar-menyuruhku masuk. Aku pun berjalan menuju rumah mewah yang dicat ungu pucat. Mengamati sekeliling untuk menebak seperti apa kepribadian Albar. Dari gerbang hingga pintu utama, ada 10 lampu taman yang disebar di kanan kiri paving block. Nyaris tak ada bunga, hanya rumput dan pohon yang cukup varian. Ada kelengkeng, mangga, cemara, pakis, dan rambutan. Melihat betapa kokoh tumbuhan yang terhampar di halamannya yang luas itu membuatku bertanya-tanya, apakah Albar pernah memanjatnya? Mungkin pria itu lebih suka duduk di atas meja, mempelajari Rancangan Undang-Undang sebelum asyik berdebat di sidang. Atau, kalau aku boleh berburuk sangka, Albar lebih duka fitness agar bisa menggebrak meja dengan kekuatan maksimal seperti yang dilakukan anggota dewan ketika menemui jalan buntu.

Bahuku bergidik. Tidak bisa membayangkan jika Albar melakukan vandalisme.

Tenggelam dalam pikiranku sendiri, menjadikanku tidak sadar bahwa sekarang aku sudah berdiri di depan pintu. Tanganku terangkat kemudian mengetuk. Ada sahutan dari dalam. Selang beberapa detik kemudian, pintu berderik. Seorang wanita berbaju daster bunga-bunga menyapa. Rambutnya digelung ke atas dengan tangan memegang gagang sapu.

"Maaf, siapa, ya?" Ia bertanya dengan mata polos.

"Tamuku." Albar turun dari tangga, dia menyahut sebelum aku membuka suara. "Tolong buatkan minuman, Bi."

Wanita separuh baya itu mengangguk kemudian undur diri. Aku menatap Albar dengan tegang. Dia sudah berdiri di depanku.

"Ayo, masuk." Ajaknya santun dan ramah.

Sesaat aku berpikir, Albar akan mengajakku duduk mencicipi sofanya yang berwarna marun. Yang permukaannya terlihat lembut dan hangat. Atau naik ke lantai dua dan berbicara privasi di ruang kerjanya. Tetapi, pria itu mengajakku duduk santai di sebuah ayunan yang terbuat dari rotan, yang diletakkan di sebelah utara kolam renang. Kami duduk bersisian.

"Aku dengar, ayahmu menjadi calon wakil bupati Rakryan." Ini sungguh menyebalkan. Terlahir sebagai pribadi blak-blakan membuatku tidak bisa berbasa-basi.

Albar mengangguk. Hanya itu responsnya.

"Apa alasan ayahmu menerimanya?" kulihat Albar menyipitkan mata. "Maksudku begini, apa nilai lebih dari Rakryan sehingga ayahmu setuju menjadi kawan politiknya?"

"Harus kuakui memang, ide-ide Rakryan tentang membangun masyarakat yang berdaya saing begitu cemerlang. Dalam waktu lima tahun, dia menjadi camat paling berprestasi dan terkenal merakyat. Ayahku tidak memiliki alasan untuk menolak pinangan Rakryan saat maju mengikuti pemilihan kepala daerah." Albar berhenti. "Kenapa kamu bertanya begitu?"

"Aneh saja." Balasku sambil menghela napas. "Semua orang-baik lawan maupun kawan politiknya-mendeskripsikan dia sebagai seorang politikus tanpa cela. Namun, akhir-akhir ini aku merasa dibohongi." Kukeluarkan surat hasil pemeriksaan lab pada Albar. "Aku menemukan ini dari Rakryan langsung. Mungkin jika kamu atau Kinan yang membawanya, aku tidak akan percaya."

Albar membaca surat itu dengan seksama. Begitu tahu isinya, ia mendongak. Matanya sedang menyuruhku untuk bercerita.

"Aku sudah bertanya pada Kinan. Dia mengkonfirmasi pernikahan siri Kak Ayana dengan Rakryan." Kualihkan pandanganku pada kolam renang. Beberapa cahaya dibelokkan dan dipantulkan, menciptakan sinar terang yang menyilaukan. Mataku bergerak lagi, kali ini terpaut pada hamparan rumput dan daun suji yang tumbuh bergerombol di sebelah selatan kolam renang.

"Lalu," Albar menunduk. "Apa yang akan kamu lakukan sekarang?"

"So what? Apa menurutmu aku adalah adik yang bodoh dan cuek? Selama ini aku selalu dibohongi oleh Kak Ayana. Seharusnya, aku mulai curiga ketika dia pulang malam dengan Rakryan. Aku yakin dia punya banyak kenalan pria, tetapi hanya ada satu pria yang diajaknya datang ke rumah. Selain itu, Kak Ayana jarang, bahkan tidak mau, berduaan dengan pria yang bukan mahram. Tetapi, dengan Rakryan adalah perkara lain. Ketika datang ke rumah malam-malam, Kak Ayana mengajaknya masuk dalam kamar. Berdua saja. Entah apa yang mereka bicarakan atau lakukan. Rakryan baru pulang lewat tengah malam." Bangku ayunan terasa tidak nyaman untuk kulitku. Aku memutuskan untuk berdiri. "Kamu bertanya apa yang akan kulakukan sekarang? Siapa yang harus kubela? Kak Ayana yang selalu tertutup atau Rakryan yang brengsek dan pura-pura lugu?"

Tsuraiya AghniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang