Bab 6 Hujan, Tahu dan Rakryan

35.8K 3.8K 381
                                    

Tak ada yang lebih lucu ketimbang melihat Rakryan membuka dompet dan dia hanya menemukan selembar uang berwarna merah. Aku buru-buru mendekat. Pria itu hanya menatapku sekadarnya. Tahu diri, aku segera membuka slingbag, kuserahkan uang lima puluh ribu yang sedetik lalu menjadi harta satu-satunya.

"Cukup?" Aku ketar-ketir melihat ekspresi Rakryan yang datar seperti papan setrika. Sampai-sampai rasa was-was itu berubah gemas bukan main karena dia mengambil uangku dengan malu-malu. Kalau hanya ada kami berdua, aku yakin sudah mencubit dua pipinya yang bersemu merah.

"Pas." Dia beranjak menuju si tukang, menyerahkan ongkos mengganti ban.

Aku masih berdiri sambil menahan tawa. Sungguh, baru sekali ini aku mengenal seorang calon bupati yang tidak berduit. Biasanya, orang yang berkecimpung dalam pusaran kekuasaan punya uang banyak. Entah penghasilan dari usaha bisnis pribadi, maupun proyek-proyek pemerintah yang pengerjaannya diambil sendiri dengan menggunakan pihak ketiga agar tidak dicurigai melakukan kolusi. Tetapi, itu tidak berlaku pada pria pemilik gen tirani dalam kromosomnya. Dia tidak membuatku ilfeel, sungguh. Mana mungkin aku menjauhinya gara-gara tidak punya uang cash dalam dompet. Aku memang butuh uang untuk membeli ini dan itu. Namun, buatku sendiri, uang bukan segalanya. Masih ada visa atau mastercard. If you know what I mean.

"Aku mendengar isi otakmu. Kamu sedang berburuk sangka padaku." Tahu-tahu Rakryan menjitak kepala. Aku yang tidak tahu akan dijitak hanya bisa pasrah, tidak bisa melakukan apa-apa kecuali mengomel.

"Yang Mulia, aku bisa melaporkanmu pada komnas HAM atas tuduhan penganiayaan. Dasar menyebalkan." Aku mengelus kepala, agak mendramatisir keadaan. "Ouch.... Ini sakit sekali, Yang Mulia!" Gerutuan itu lolos begitu saja. Bukan bersimpati, Rakryan malah menertawaiku lagi. Kali ini suaranya sangat sumbang, nada-nada falsetto yang keluar. "Kalau sampai benjol sehingga bentuk kepalaku tidak ideal bagaimana, Yang Mulia? Kemungkinan terburuk, bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan susunan sarafku? Yang mulia harus bertanggungjawab."

"Kalaupun kamu berubah pikun karena jitakanku. Atau keriput mendadak karena kaget, aku tetap menyukaimu, B. Tenanglah."

Saat itulah mata kami bersinggungan pada satu garis lurus. Bersamaan pula sebuah gelombang longitudinal bergerak begitu intim dan intens, menempatkanku pada kondisi yang magis dan puitis. Heh, bahkan Rakryan baru mengeluarkan satu gombalan. Belum puisi atau frasa yang berisi banyak susunan kata yang membuat siapa saja terpesona.

Astaga, aku benar-benar jatuh cinta pada musuh. Bukan kabar baik pula, kan? Yang janggal, aku sama sekali tidak menganggap ini sebagai sesuatu yang berbahaya. Justru nyaman dan hangat. Kehangatan yang selama ini kucari dari Kak Ayana tetapi tidak kudapatkan, akhirnya kutemukan dalam diri Rakryan.

"Yang Mul-"
Dan aku tidak jadi melanjutkan panggilan karena Rakryan menipiskan jarak. Kini dia hanya terpisah beberapa inchi saja dariku. Kedekatan ini mengingatkanku pada hukum Coulomb, tepatnya tentang dua muatan berbeda jenis yang akan saling tarik menarik. Harapan terakhir, masih ada konstanta yang kecil agar gaya yang menarik kami kecil pula.

Oh, sinting.

"Kenapa kamu memanggilku Yang Mulia?" Pandangannya menghunjam mata, menciptakan denyut-denyut nakal yang merambat di seluruh nadi.

"Kenapa kamu memanggilku B?" Aku mengeja huruf B dengan Bi, seperti cara Rakryan melafalkannya. Kami terdiam, saling pandang, saling mengintimidasi, dan tetap keras kepala. Tidak ada yang akan menyerah dengan cepat. Itu artinya, aku akan terperangkap ke dalam mata hitam Rakryan yang serupa batuan onyx. Sepasang mata yang sering kusebut lubang cacing, penyampai menuju ledakan kebahagian di sebuah galaksi yang belum diketahui apa namanya. Mungkin Andromeda atau Bima Sakti?

Tsuraiya AghniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang