Melela

4.3K 306 102
                                    

Jakun Aldi bergerak naik turun. Meski kopi hitamnya sudah sukses tertelan masuk, rasanya masih ada sesuatu yang tersangkut. Aldi cukup yakin kalau itu adalah kata-kata. Penjelasan, yang dari dulu belum pernah dia sampaikan. Semua hal yang seharusnya dia katakan kepada sahabat-sahabatnya sejak dulu. Sampai detik ini, justru orang-orang lain yang lebih dulu tahu.

Aldi memandangi mereka satu per satu. Tangannya mencengkram pelan ujung baju. Semua penjelasan yang sudah ingin dia katakan sejak dulu mengaliri lidah, berangsur-angsur ke bagian ujung. Dia merasa tidak ada lagi yang perlu ditunggu. Sayangnya, lidahnya mendadak kelu. Digerakkan sedikit pun tak mampu. Bukan cuma lidah, melainkan seluruh tubuh. Hanya bola matanya yang sanggup bergerak ke beberapa penjuru.

“Di,” Alif mengucap duluan, memecah kebisuan yang terbangun sedemikian rupa. Nadanya mengandung ketidakpercayaan, “kenapa?”

Aldi tidak tahu perihal mana yang Alif tanyakan. ‘Kenapa’ yang mana? Soal kenapa dia gay? Atau, kenapa dia tidak memberitahukan semua ini kepada mereka? Oh, bisa jadi Alif barusan bertanya ke dirinya sendiri, soal kenapa dia harus berteman dengan orang macam Aldi. Atau, justru ketiganya, beserta kenapa-kenapa tak tersebut yang lain. Tapi, pertanyaan mana pun yang Alif ajukan saat ini, Aldi hanya akan menjawabnya dengan dua patah kata: ‘tidak tahu.’

Kebimbangan membuat Aldi sulit menerjemahkan tatapan mereka. Sorot mata Tagi sudah kabur, entah lari ke mana. Hanya Alif yang masih menatapnya dengan intens, membuat Aldi serasa disengat saat mendongak. Milik Findha yang paling jelas terlihat. Dia tampak takut. Kasihan. Menyesal. Merasa bersalah. Padahal, Aldi pikir ini bukan salah perempuan itu sama sekali. Dia sudah tahu—cepat atau lambat, mau tidak mau, ini jelas akan terjadi. Sampai kapan dia mau lari? Oh, sampai hari ini.

Raga Aldi bangkit dari sofa. Dia melangkah ke arah pintu tanpa mengucapkan apa-apa. Biarlah ini jadi rahasia lagi untuk sementara. Kakinya melangkah dalam diam, tanpa disertai kalimat cegahan dari kawan-kawannya. Tangannya menyingkap pagar, dalam hati taktahu harus melangkah ke mana. Dia berjalan gontai menyusuri perumahan sampai keluar dari gerbang. Kakinya kini naik ke trotoar karena sudah memasuki area jalan raya besar.

Saat sebuah taksi kosong lewat, Aldi merasa jadi orang paling beruntung di dunia. Dia segera memasuki kendaraan itu dan melaju, pergi dari daerah rumah Rivan. Tangannya merogoh saku celana jeans sebelah kirinya. Dia melakukan panggilan ke sebuah kontak. Ponselnya ditempelkan di telinga sambil berharap-harap cemas. Dia butuh seseorang. Dia butuh orang ini.

Natasha. Dia butuh Natasha Lim.

Teleponnya diangkat. Aldi mengernyit saat mendengar suara gemerisik seperti kantong plastik yang saling bergesekan di seberang. Setelah menunggu beberapa saat, suara wanita itu menyahut dari sana.

“Ya, halo?”

“Nat,” Aldi menghela napas panjang, “aku mau ketemu.”

“Aku lagi belanja groceries di Hocus Pocus. Deket rumah,” jawab Natasha, “sebentar, ya. Nanti kalau sudah selesai, kukabari lagi.”

“Aku lagi perjalanan ke sana sekarang,” tegas Aldi, “jangan ke mana-mana. Tetep di situ.”

“Oh. Awkay then,” Natasha menjawab dengan terkejut campur ragu, “Aldi, you ok?”

“Nggak usah khawatir,” jawab Aldi setengah tertawa getir, “sampai ketemu di sana, Nat.”

Aldi menyimpan ponselnya di saku. Di dalam taksi, dia duduk termangu. Telinganya menikmati musik yang mengalun. Sebelumnya, lagu ini belum pernah dia tahu. Tebakannya, salah satu dari musik-musik indie yang tengah menjamur. Mengikuti lagu yang sudah lama beredar saja dia kepayahan, apalagi menebak judul lagu baru?

DerajatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang