Dia memang tidak sungguh sungguh mengucapkannya, gadis tolol.

"..ya" ujarku singkat sembari menghela nafasku pelan
"Aku tak mau kau menganggapku gila atau bagaimana. Kau tahu, kita baru saja bertemu belum lebih dari sebulan, dan tiba tiba aku sudah mengatakan hal seperti itu. Aku tak ingin kau menganggapku gila" ujarnya dengan jujur
"Sudahlah, aku tahu kau hanya bercanda. Ini bukan pertama kalinya aku dipermainkan seperti ini" ujarku sambil menarik diriku dari pelukannya dan menjauh beberapa senti darinya.

Bohong.

"Dengar, aku tidak-"
"Aku mengerti. Aku hanya terlalu mudah, ya?" ujarku memaksakan diriku tertawa, meskipun aku tahu ini sangat tidak perlu
"Aku tidak bermaksud-"
"Aku belum selesai" potongku

Ia terdiam.

"Aku mengerti. Aku hanyalah gadis biasa, yang kau pikir kau bisa kau mainkan. Tapi kau harus tahu dengan siapa kau berhadapan denganmu" ujarku
"Kau bahkan tak mendengarkan penjelasanku. Boleh kali ini aku yang bicara?" tanya nya dengan ekspresi... Tunggu ekspresi apa itu? Matanya terlihat nanar. Ia menatapku.. Dengan tatapan yang bahkan tak dapat kumengerti sama sekali.

"Baiklah, dengarkan aku sekarang. Dan tugasmu, untuk mendengarkanku. Sounds good?" tanya nya sambil kembali menarik lenganku
Aku hanya terdiam, dan dia pun memulai penjelasannya.

"Kuharap kau tidak akan salah paham denganku. Dengar, aku tidak pernah ada, sama sekali tidak pernah ada niatan untuk mempermainkanmu. Oke, kuakui aku tidak terlalu bagus dengan seorang gadis. Aku bersumpah demi Tuhan, kau satu satunya gadis yang sangat jauh berbeda dari gadis yang biasa aku permainkan. Ada sesuatu, sesuatu darimu yang membuatku tertarik untuk memecahkan kode sandimu. Untuk ucapanku aku mungkin bisa saja jatuh cinta padamu, kuharap kau tak terlalu serius. Aku hanya bercanda. Atau mungkin tidak. Oke, aku tidak tahu mana yang benar! Kau satu satunya gadis yang membuat kepalaku pusing hanya karna memikirkanmu" jelasnya panjang sambil mengacak rambutnya pelan
"Dan lagi"
"Kuakui aku tertarik denganmu. Tertarik karna kau satu satunya gadis yang berhasil membuatku tertawa lagi. Kau harus tahu, aku memiliki masa lalu yang begitu kelam sehingga membuatku sulit untuk mengkspresikan perasaanku, termasuk, tertawa. Tetapi kenapa... Kenapa denganmu terasa berbeda? Aku bahkan sedikit demi sedikit bisa mengekspresikan perasaanku, tanpa perlu menyembunyikannya didalam hatiku lagi." tuturnya lagi.
"Ya aku marah pada diriku sendiri karna sudah membuatmu menganggapku hanya menjadikanmu sebuah objek mainan, meskipun pada nyatanya tidak seperti itu. Saat aku melihatmu, bahkan mendengarmu tetap bicara padaku meskipun aku mengabaikanmu, yah seperti tadi. Oh sial, anggap aku gila sekarang" ujarnya sambil kembali mengacak acak rambutnya

Aku tak dapat menolong diriku sendiri untuk menahan ketawaku.

"Oh tuhan, kau sudah menganggapku gila sekarang" ujarnya sambil melepaskan genggaman tangannya di lenganku dan berjalan menuju dinding dan menempelkan keningnya di dinding
"Tidak.." ujarku pelan sambil mencoba meredakan tawaku
"Kau ini hanya lucu" sambungku
"Dan aneh"
"Misterius"
"Masih ada lagi?" tanya nya sembari memandang wajahku
"Dan juga menyebalkan." ujarku sambil terkikik

Ia hanya tersenyum lembut dan beranjak dari dinding dan kembali menarik lenganku dan aku kembali berakhir berada di dalam pelukannya.

"Apa kau berminat untuk mendengarkan ceritaku?" ujarnya tiba tiba
"Kenapa tidak?" tanyaku

Ia melepaskan pelukannya dan berjalan ke arah ranjangnya. Tanpa melepaskan tangannya yang menggengam lenganku. Aku pun mengekori badannya di belakangnya. Ia menyuruhku untuk berbaring di ranjangnya. Setelah aku membaringkan tubuhku di ranjangnya, ia juga membaringkan tubuhnya di ranjangnya. Aku menghadapkan wajahku ke arahnya, dan ia menghadapkan wajahnya ke arahku. Ia mendaratkan jemarinya di wajahku yang sanggup membuat bulu kudukku sedikit berdiri.

"Kau tahu, masa laluku lah yang menyebabkanku seperti ini" ujarnya memulai ceritanya
"Ku tak pernah menyangka awalnya, yang kupikir aku memiliki segalanya saat aku kecil, keluarga yang bahagia, mainan yang kusukai, makanan yang enak..."
Aku terkikik mendengar kalimat terakhir yang ia ucapkan, dan ia hanya tersenyum kecil
"..dan semua hancur begitu saja." Dan ekspresi wajahnya pun berubah. Penuh kemarahan. Benci.
"Ayahku, memiliki gadis simpanan dibelakang ibuku. Dan sialnya, Ibuku juga memiliki lelaki simpanan dibelakang Ayahku. Kau tahu betapa itu menghancurkan seorang anak laki-laki yang masih berumur 4 tahun"

Ia mulai berceloteh tentang kehidupannya yang kelam. Dimana akhirnya orangtua mereka memilih untuk berpisah, sampai akhirnya mereka berdua menikah lagi dengan orang lain, dan ia diminta untuk tinggal bersama ibunya, atas permintaan ayahnya sendiri. Tak lupa ia menceritakan soal ayah tirinya yang selalu menghajarnya setiap ia berulah di sekolah, sampai ia harus berujung masuk di rumah sakit selama 1 minggu akibat lukanya yang parah.

"Apa kau percaya tentang mesin waktu?" ujarnya tiba tiba
"Aku tidak pernah memikirkan soal itu sebelumnya, mungkin aku harus percaya" jawabku
"Seandainya mesin waktu itu memang ada, apa yang ingin kau lakukan?" tanya nya lagi dengan tatapan matanya yang tak pernah luput dari mataku
"Mungkin aku berharap aku akan kembali ke masa kecilku?" ujarku terkekeh

Sungguh, aku tak pernah memikirkan apa yang aku mau jika mesin waktu itu memang betulan ada.

"Kalau kau?" tanyaku pelan

Jongin hanya menghela nafasnya kasar, "Aku hanya ingin satu hal."
"Apa itu?" tanyaku penasaran
"Kembalikan aku ke masa kecilku yang bahagia" ujarnya sambil menekankan nada bicaranya di kata 'bahagia'

Ia menutup matanya perlahan dihadapanku. Aku menghela nafasku pelan. Wajahnya terlihat damai saat ia memejamkan matanya. Aku berinisiatif untuk membelai wajahnya dengan telapak tanganku. Mendaratkan jemariku di pipinya.

"Kupikir aku akan menangis sekarang" ujarnya tiba-tiba

Dan benar saja. Setelah ia mengucapkan kalimat itu, ia meneteskan air matanya.

"Maaf" lirihnya pelan sambil menghapus air matanya sendiri dengan lengannya

Hatiku tergerak saat melihatnya menangis. Jongin yang kemarin kulihat bukanlah Jongin yang sebenarnya. Inilah Jongin yang sebenarnya. Seorang anak laki laki yang rapuh, sendirian, dan juga terluka. Ia yang kemarin bertengkar denganku sekarang tengah menangis didepanku. Aku melingkarkan lenganku di pinggangnya, dan mendorong badanku lebih dekat dengan badannya. Ia menyambutku dengan melingkarkan lengannya di pinggangku dan menepis ruang kosong diantara kami. Kemudian ia melingkarkan lengannya di punggungku, dengan telapak tangannya yang menyentuh bahuku. Hari ini, aku benar benar mengenal Jongin. Lebih dekat.

Roomates With Contracts [HIATUS]Where stories live. Discover now