Bab III - Dosa Kecil Manis

46.8K 4.4K 187
                                    

Cerita ini serius dan agak berat. Mungkin tidak begitu cocok bagi kalian pemuja romance. Tapi, bagi yg masih minat melanjutkan, bersabarlah sebentar sampai pada bagian kriyuk-kriyuk cerita ini  :)

***

Pemandangan di ruang makan rumah minimalis tipe 120 dengan dinding batu bata merah itu menyuguhkan tiga orang dewasa yang duduk mengelilingi meja bundar sedang. Di hadapan mereka, tersaji beberapa menu hidangan.

Seisi ruang makan itu mengekspos aura tradisional kental. Semua ornamen rumah terbuat dari kayu. Lukisan-lukisan landscape karya sang empunya rumah--yang masih terlihat amatir namun bernilai seni tinggi--tertempel di dinding sebelah kiri, membatasi ruang itu dengan ruang keluarga. Lampu-lampu hias tergantung menambah kesan tradisonal klasik yang 'mahal'.

Semua itu seharusnya bisa memberikan kehangatan bagi penghuninya. Namun, yang Rizi rasakan justru keadaan sebaliknya.

Kata orang, harmonisnya sebuah keluarga bisa diukur dari beberapa point dan sudut pandang, salah satunya yaitu interaksi. Ada sebuah persepsi sederhana yang mengatakan bahwa kehangatan keluarga bisa terbaca dari cara anggota keluarganya berinteraksi di meja makan.

Ya, pemikiran sederhana yang sedikit menggelitik nalar Rizi. Di kepalanya, potret interaksi keluarga sebenarnya tidaklah neko-neko, cukup duduk bersama dan bicara apapun sampai kehabisan topik, lalu tertawa lepas bersama. Asalkan semua itu tidak diselimuti dengan kepalsuan.

Seperti yang sering terjadi di sini--di meja makan keluarganya. Diam-diam, Rizi mengamati dan mengangkat sebuah perbandingan sendiri antara persepsi orang dan kenyataan yang terjadi dalam keluarganya.

Rizi menatap ibunya yang dengan semangat menyendokan nasi ke piring Rizi juga ayahnya. Wanita itu bercerita tentang kegiatannya hari ini dengan ceria--seperti biasa. Dan ayahnya menyimak penuh minat lalu sesekali menimpali--seperti biasa.

Sepintas, keluarga itu terlihat baik-baik saja. Begitu hangat dan harmonis jika dilihat dari mata-mata kurang peka. Namun bagi Rizi, mengamati interaksi kedua orang tuanya bagaikan sedang menonton pertunjukan teater yang sama berulang-ulang kali. Dia sudah hafal betul karakter tokohnya, sudah tau ke mana cerita ini akan bermuara.

"Zi, kerjaan kamu gimana?" Maya--ibu Rizzi--bertanya. Wanita yang masih nampak cantik di umur 51 tahun ini memandang anak satu-satunya itu penuh cinta.

Dengan mulut penuh, Rizi menjawab tak acuh, "Gitu-gitu ajah, Bu."

"Apa kita perlu liburan bertiga?" kali ini Ridwan memberi usul.

Rizi melirik Maya sepintas, berusaha membaca bagaimana reaksi ibunya ketika mendengar usulan ayahnya. Seperti dugaannya, wanita itu tersenyum manis dan mengangguk antusias.

"Iya kita ke mana yah yang deket-deket tapi bagus?" mata Maya menerawang. Pandangannya berpindah pada suaminya dalam mimik wajah serius.  "Uhm, kalo Jepang gimana, Yah? sekarang di sana lagi musim semi kan? Kita bisa lihat festival bunga Sakura. Kebetulan ibu punya teman yang baru buka jasa travel tour gitu. Jadi dalam masa promosi gini masih dikasih murah. Kita berangkat weekend ini gimana?"

Sendok dan garpu dari tangan Rizi terlepas ke atas piring porselin yang sontak mengundang bunyi dentingan keras. Ibunya nampak kaget namun tetap berusaha datar begitu juga ayahnya.

"Mungkin lain kali," tukasnya. "Kerjaan Izi lagi ribet banget akhir-akhir ini. Ummm... by the way terim kasih makan malamnya. Izi ke kamar dulu." tanpa menunggu jawaban, ia naik ke lantai dua.

Sungguh Rizi muak melihat suasana ini. Oang tuanya selalu menunjukan pemandangan yang terbalik dari keadaan mereka sebenarnya. Di depan Rizi, keduanya melemparkan ego itu jauh-jauh. Mencoba terlihat normal seperti layaknya suami istri biasanya.

ImpromptuWhere stories live. Discover now