24

2K 96 1
                                    

 Sementara di negara Amerika. Dimas tengah sibuk-sibuknya menjalani aktifitas sebagai mahasiswa kedokteran.

Bisa dilihat betapa besar perjuangannya untuk bisa masuk disalah satu universitas bergengsi itu dengan jurusan favorit, mengingat dulu di masa putih abu-abu dia dari jurusan sosial.

Bukan tanpa alasan Dimas masuk kedokteran, tapi keinginannya itu sudah bulat dan keinginan itu dimulai dari tekadnya ingin menemukan obat untuk menyembuhkan Feby. Bukan hanya menidurkan penyakitnya sesaat.

Omong-omong tentang Feby, sebenarnya ada sesal yang mendalam dalam benak Dimas karena tidak memberitahu keberangkatannya untuk mengenyam pendidikan di Amerika.

Dia hanya terlalu takut kalau Feby tidak bisa menerima, karena Dimas pernah berkata kalau sejauh-jauhnya kuliah itu di Thailand dan itu mengambil jurusan bisnis bukan kedokteran.

Dimas yang baru saja menyelesaikan mata kuliah terakhir di hari pertamanya masuk kuliah langsung keluar kelas dan menuju kantin, karna sedari pagi dia belum mengisi perutnya. Dia berjalan sembari membawa setumpuk buku yang baru dibagikan.

Dimas memesan beberapa makanan dan satu gelas air mineral kemudian mendudukkan pantatnya di kursi sebelah kanan kantin.

Dia menghela napas panjang sambil memandangi fotonya dengan Feby yang dia jadikan wallpaper handphone. Otaknya berpikir keras untuk menekan tombol dial.

Dimas sangat ingin menghubungi gadisnya. Bahkan Dimas rela jika Feby marah besar terhadapnya. Tapi niat itu diurungkan oleh Dimas.

Dia berpikir belum saatnya menghubungi Feby. Walau hatinya sudah sangat gelisah karena rindu yang terpendam sejak lama.

Saat Dimas tengah menyantap makanan yang sudah dia pesan, tiba-tiba handphone-nya berdering tanda ada panggilan masuk.

Dilayar handphone tertera nama Brian yang menghubunginya. Dimas sempat menyerngit sebelum mengangkat teleponnya, dia heran karena itu adalah kali pertama Brian menghubunginya disaat mereka sudah lama tidak bertemu.

Ada urusan apa? Batin Dimas.

Dimas segera menjawab telepon dari Brian. Banyak suara diseberang sana, bahkan seperti tangisan. Dimas bingung sendiri apa maksud Brian menelponnya kalau tujuannya dia hanya mendengar suara raungan tidak jelas itu.

"Brian?" Dimas coba memulai percakapannya.

Pasalnya dia tidak mungkin langsung mematikan telepon, sedangkan dia masih harus menyelesaikan tumpukan tugas kuliah.

"BRENGSEK!!!" Suara Brian begitu menggema dan sangat keras terdengar ditelinga Dimas.

Hingga membuatnya langsung tersigap berdiri, mulutnya menganga karena tidak percaya apa yang Brian katakan padanya.

Satu kata yang menurutnya cukup kasar untuk diucapkan oleh seseorang yang notabennya tidak ada masalah apa-apa dengan Dimas.

"Cowok BRENGSEK!" Brian kembali menekankan kata kasar itu pada Dimas.

"Sampai kapan lo mau nyiksa Feby HAH?"

Feby? Jantung Dimas berdegup kencang mendengar nama itu apalagi diiringi amarah Brian yang semakin memuncak. Bibir Dimas begitu keluh. Pikirannya kembali tertuju pada gadisnya itu.

Dimas coba mengatur napas sesaat sebelum dia mulai coba membuka suara kembali.

"Fe-Feby kenapa?" Bahkan cara bicara Dimas menjadi gagap. Dia sangat takut dengan jawaban yang akan diberikan Brian atas pertanyaannya.

"Dia kritis Dim." Kini suara Brian yang semula begitu menggebu-gebu mendadak menjadi melemah dan volumenya begitu kecil.

Bahkan Dimas sempat mencerna beberapa saat dua kata tidak jelas yang Brian ucapkan. Hanya terdengar hembusan napas kasar dari Brian setelah itu.

Secret Admirer (TAMAT)Where stories live. Discover now