Bab 7 Seratus Delapan Puluh Derajat

2.8K 102 31
                                    

(Karena belum ada tokoh lain yang bisa dipost..yah kalian tau lah..tapi berhubung yang udah bugil tuh Satrio sama Krisna, ini foto shirtless Krisna, menyusul foto shirtless Satrio kemaren2..Enjoy!)

Maret 2006

.

.

.

"Krisna! Yudhi! Ayo turun! Makan dulu!" Aristia berteriak memanggil kedua anaknya sembari menata piring-piring di meja makan.

"Iya buu!" kedua anak itu menyahut sama cepatnya dan berlarian dari kamar di atas menuju meja makan.

"Makan apa bu malam ini?" Yudhi membalik piringnya dan membuka wadah nasi.

"Kangkung, ayam goreng, sama tempe, Yud." Aristia duduk di kursi tengah.

"Loh, bu. Malam ini ayah gak makan di rumah lagi?" Krisna bertanya sambil mengunyah tempenya.

Aristia terdiam, mengambil gelas minumannya. "Nggak, Kris. Ayah lagi ada rapat lagi, mungkin pulangnya agak malam."

Tiga tahun semenjak keluarga Wiranata pindah ke Bandung, usaha gerai telepon seluler Adhikarsa melesat. Dari satu gerai kecil di Pasar Baru, sekarang dia sudah menjadi distributor tunggal satu brand HP Korea di Bandung dan Cimahi. Tentu saja tuntutan pekerjaan, dan Adhikarsa pun jadi jarang berada di rumah, seperti malam ini, dia harus rapat di kantornya di pusat kota Bandung.

"Ohh..begitu, bu." Krisna menjawab singkat, mengerti bahwa ayahnya sudah jadi lebih sibuk sekarang.

"Tapi nanti ayah makan di rumah kan, Bu?" Yudhistira bertanya polos.

"Iya, Yudh. Nanti ayah pasti pulang kok." Aristia tersenyum kecil. "Abisin ya, kalau dibesokkin, gak enak."

Makan malam pun berlalu dalam bisu. Kedua putra Wiranata sekarang sudah kelas 1 dan 2 SD. Mereka bersekolah di sekolah Katolik di sekitar rumah mereka, sekolah katolik tempat Krisnawan akan bersekolah nanti.

Jam kuno milik mendiang kakek menunjukkan pukul 9..

Pukul 10..

Pukul 11..

Tidak ada tanda-tanda maupun kabar dari Adhikarsa. Aristia sudah tertidur di sofa ruang tengah dengan TV menyala dan remot di tangannya. Krisna dan Yudhistira sudah terlelap di kamar mereka masing-masing. Asisten rumah tangga dan supir-supir sudah terlelap di bangunan belakang, sampai tiba-tiba, terdengar pintu rumah diketok tiga kali.

Aristia melonjak kaget, terbangun dari tidurnya dengan peluh di pelipisnya. Bukan karena terbangun tiba-tiba, tapi karena ketukan pintu itu seolah membawa berita buruk.

Aristia terburu-buru menuju pintu, dan saat dibuka, ada tiga orang polisi berseragam menunggu.

"Apa betul ini kediaman bapak Adhikarsa Wiranata?" polisi yang paling depan bertanya.

"Iya betul, ada apa, pak?" tampak ketakutan di wajah Aristia.

"Kami kemari untuk menyampaikan, bahwa suami Anda, mengalami kecelakaan di Jalan Dago tadi pukul 8 malam. Dia sedang menyetir, dan seorang pengemudi mabuk menabraknya dari samping. Kecelakaanya, beruntun bu." polisi itu bertutur.

Lutut Aristia terasa lemas, seolah tidak kuat lagi menopang dirinya.

"Apakah suami saya, baik-baik saja, pak?" Aristia berusaha tegar, tapi jelas suaranya bergetar karena takut.

"Beliau sedang di rumah sakit Borromeus sekarang. Kami kemari untuk menyampaikan saja, Anda bisa mendatanginya disana. Permisi, bu." lalu ketiga polisi itu pun pergi.

RecessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang