Tawaran Perdamaian?

Începe de la început
                                    

Tiba-tiba saja ponsel di dalam tas punggung yang ada di sampingku berdering. Tanpa melihat siapa yang menelepon, aku bisa menebak siapa orangnya. Seratus persen aku yakin tebakanku tidak akan salah.

"Kau tidak mengangkatnya?" tanya Jisoo heran ketika aku hanya diam mengabaikan deringan ponselku. "Siapa tahu penting"

Sambil menghela napas malas, aku merogoh ponsel dari dalam tasku. Seperti kata Jisoo, 'siapa tahu penting'.

Dugaanku benar. Nama Choi Seungcheol tertera di layar ponselku. Mau tidak mau akhirnya aku menggeser layar ponselku ke tombol hijau, setelah satu jam terakhir ini aku mengabaikan panggilan telepon Seungcheol kurang lebih sebanyak sembilan kali.

"Halo?"

"Akhirnya kau mengangkat panggilan teleponku." terdengar suara protes jengkel dari Seungcheol.

"Ada apa? Kalau tidak ada yang penting, berhenti meneleponku terus-terusan!" seruku tidak kalah jengkelnya.

"Tentu saja aku punya alasan yang penting untuk meneleponmu."

"Apa?"

"Tadi pagi kau pergi saat aku masih tidur. Jadi aku ingin mendengar suaramu," aku bisa merasakan sebuah seringaian dalam suara Seungcheol. "Biasanya orang yang sedang kasmaran seperti aku akan selalu ingin mendengar suara orang yang dicintainya."

Rayuan tidak bermutu Seungcheol membuatku mendengus, sedangkan di seberang sana Seungcheol sedang tertawa-tawa kecil.

Apa dia merasa geli sendiri dengan ucapannya yang bagiku sungguh menggelikan itu?

Tanpa bisa dicegah, mendengar suara tawa Seungcheol membuatku ikut tersenyum. Untunglah Seungcheol tidak ada di depanku saat ini. "Kalau tidak ada hal penting yang ingin kau bicarakan, aku akan menutup teleponnya."

"Jangan!" sergah Seungcheol cepat. "Sebenarnya aku meneleponmu karena ingin bertanya padamu. Apa kau masih marah padaku karena masalah jadwal bersih-bersih kamar kemarin?"

"Begitulah," sahutku dengan mulut yang mengerucut kesal untuk menegaskan maksudku meskipun aku tahu Seungcheol tidak bisa melihat wajah ataupun ekspresiku sekarang.

"Apa dengan sebuah permintaan maaf kau akan tidak marah lagi padaku?"

"Aku tidak tahu."

"Bagaimana dengan sebuah permintaan maaf dan traktiran makan sepuasmu?"

"Mungkin saja," jawabku skeptis.

"Baiklah. Bagaimana dengan sebuah permintaan maaf, traktiran makan sepuasmu, dan aku akan menggantikan jadwalmu bersih-bersih kamar selanjutnya?"

"Setuju!" kataku cepat dengan nada yang lebih bersemangat.

Aku mendengar Seungcheol menghembuskan napasnya. "Jeonghan, maafkan aku karena membuatmu menggantikan tugasku membersihkan kamar."

"Baiklah."

"Selanjutnya aku akan mentraktirmu makan hari ini. Apa kau sudah selesai dengan urusan klub tenis?"

"Sebentar," aku menjauhkan ponsel dari telingaku dan menoleh ke arah Jisoo yang tengah menatap ke tengah lapangan, tempat anggota klub lain sedang latihan. "Apa tidak apa-apa kalau aku pergi duluan?"

"Apa kau sudah memutuskan untuk masuk atau tidaknya di klub tenis?" Jisoo balik bertanya.

"Ya, karena kau berjanji akan mengajariku, aku akan masuk klub tenis," jawabku. "Tapi apa bisa aku memulainya minggu depan saja?"

"Tentu saja."

"Seungcheol?" seruku setelah kembali menempelkan ponsel ke telingaku. "Aku sudah selesai dengan urusanku. Kau ingin kita janjian di mana?"

Bunga Iris dan TakdirUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum