Bab Enam Belas

152 5 0
                                    

Elin tiba-tiba menutup matanya ringan, menarik bibirnya, dan merasakan nada indah itu bergelantungan di dirinya dan di pikirannya. Elin dapat bernafas lega untuk kesekian kalinya dia hidup di Thailand.

Nada piano Nathan berakhir indah. Tapi rupannya gadis bermata biru itu tak sama sekali mau membuka matanya. Nathan curiga dengannya. Lalu beranjak untuk menyusul.

Tangan Nathan dengan perlahan menyentuh kening Elin. "Kau masih hidup?" Tanya Nathan. Seketika dua pasang mata yang tertutup itu membuka sempurna, tubuhnya tersentak kaget. Saking kagetnya, Elin mendadak ingin memutarkan tubuhnya tapi ia mengalami kecerobohan besar, ia tak sengaja menyenggol ponselnya ke arah lubang kran yang terbuka lebar. Dan ponsel itu terjepit di dalam lubang itu.

"Ah, Bagiamana ini?" Elin mendengus khawatir, mencoba mengambil ponselnya yang sebagian tergenang air. "Apa yang kau lakukan?" Tanya Nathan ikut melihat ponsel genggam itu yang dari tadi setelah di angkat meneteskan beberapa air.

"Kenapa kau mengagetiku?" Wajah Elin sangat sebal dengan tindakan Nathan berusan.

"Kau sendiri? Kenapa tidur dengan berdiri?" Sahut Nathan dengan wajah tanpa dosa.

"Aku tidak tidur."

"Lalu?"

"Ah! Lupakan, sekarang nasib ponselku bagaimana? Ah, apa yang harus kulakukan?"

Nathan mengangkat pundaknya samar. Dan atas kejadian ini, Elin harus rela dengan ponsel genggamnya kini.

***

Besok paginya, Nathan tengah duduk di sofa rendah dengan televisi yang menyala di depannya. Meski Nathan tidak benar-benar memperhatikan acara televisi tersebut. Dia merasa bosan. Dia mengambil ponsel genggamnya yang berada di meja rendah di depannya, lalu membuang lagi ke meja, terus terulang semacam itu. Dia hendak menelpon Elin, tapi ia menyadari kalau ponsel gadis itu tengah rusak.

Perutnya semakin lama, semakin lapar. Andai ada seseorang yang membuatkan makanan untuknya.

Bel berbunyi, mata Nathan terbuka lebar. Berharap sosok gadis bertubuh ramping itu datang dan memasakkan makanan untuknya. Nathan berjalan dengan semangat, ketika handle pintu ia geser dan menariknya cepat. Alangkah kecewanya dia, sosok itu bukanlah yang ia harapkan melainakan kiriman box coklat mudah dengan pita merah. Nathan menarik bibirnya ke samping, mengambilnya dengan malas. "Penggemar?" Gumam Nathan samar sambil terkekeh sendiri.

Nathan meletakkan box itu di atas meja rendah, hendak menarik tali merah itu. Namun bel kembali berbunyi, jadi dia lebih memilih untuk membuka pintunya terlebih dahulu.

Matanya terbuka lebar. "Hai!" Sapa gadis bernama Bruzellin tersebut sembari mengangkat satu tangannya kaku.

"Elin! Kau datang? Kau tahu sekali ketika aku sedang lapar." Nathan memegangi perutnya yang lapar.

Elin menaikkan kedua alisnya samar, apa kali ini ia tidak salah lihat. Kenapa Nathan jadi bersemangat ketika ia datang.

Elin mencoba membuka mulutnya. "Aku hanya ingin mengambil barangku yang ketinggalan." Ujarnya gelagapan.

"Barang? Ketinggalan? Lagi? Astaga! Kali ini apalagi?" Sahut Nathan dengan suara meninggi, dia melirik gadis di depannya ini yang begitu amat ceroboh. "Masuklah!" Gumam Nathan pelan, ketika banyak orang yang berlalu lalang di lorong depan apartemennya.

"Aku meninggalkan wadah sup kemarin, aku pikir aku akan jadi merepotkan buat Kyne kalau aku tidak membawanya pulang."

Nathan memperbolehkan Elin untuk mencari wadah tersebut. "Hei, tidak bisa kau buatkan aku sarapan pagi ini?" Tanya Nathan yang tengah duduk di sofa depan televisi. Ia agak kecewa karena Elin, gadis itu tak langsung mengabulkan keinginannya untuk membuatkan sarapan. Terlebih jika gadis itu sangat sibuk mencari barang-nya.

Lonely RightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang