Bagian I - Yuki

3.6K 267 17
                                    

Kereta itu melaju begitu cepat seolah sedang membelah angin. Deretan rumah dan semrawutnya gegap Ibukota begitu cepat berlalu digantikan oleh sawah yang menghijau dan deretan pohon-pohon yang menaungi sepanjang jalan. Gadis berbaju putih yang duduk tepat bersebelahan dengan jendela itu menghembuskan sebuah nafas lega. Lega karena tak harus lagi terkungkung dalam sebuah tempat yang membuatnya kebas serta mati rasa.

Gadis itu mengubah posisi duduknya. Rambutnya yang hitam legam sebahu disisir mengarah pada satu bagian yaitu pundak kanannya dengan jemari tangan. Kepalanya disandarkan di bangku kursi kereta, berusaha senyaman mungkin dengan posisi duduknya. Matanya terpejam, namun raut wajahnya menunjukkan ketegangan.

Terdengar suara ringtone handphone dari dalam tas yang berada di pangkuannya. Terus berbunyi dan hanya berhenti sejenak untuk kemudian mengalunkan nada lagi. Sepertinya seseorang -atau mungkin beberapa orang- tengah berusaha menghubunginya terus menerus. Semula dia mendiamkan saja, berusaha untuk tak terganggu dengan itu semua, namun lama-kelamaan habis juga kesabarannya!

Diraihnya telepon genggam itu dalam satu gerakan. Tanpa berusaha melihat siapa yang tengah berusaha menghubunginya kemudian mematikan tombol on/off nya sehingga benda tersebut mati total. Dengan sedikit gusar, diletakannya kembali benda itu ke dalam tas dengan gerakan melempar.

Ditariknya sebuah nafas. Panjang dan berat. Kepalanya berdenyut nyeri. Pelipisnya mengerut, menandakan dirinya tengah berpikir keras.

'Apa yang sudah kulakukan?' Bisiknya dalam hati. Berada di tengah sebuah kereta yang melaju, membawa sebuah tas koper dan sebuah tas selempang, kabur dari rumah, dari keluarganya tanpa memberi kabar dan alasan. Pasti sang Ayah tengah khawatir dan sang Ibu mungkin menangis tiada henti mengetahui putri semata wayang mereka pergi begitu saja.

Tidak, dia hanya ingin pergi sebentar saja. Entah berapa lamanya dia pun tak tahu. Dia hanya ingin menenangkan diri. Yang lebih tepat adalah dia ingin menghindar. Menghindar dari semua yang bisa mengingatkannya pada pemuda bangsat sialan itu.

Keadaan di rumahnya tak bisa membantu menenangkan dirinya saat ini. Tangis Ibunya. Diamnya sang Ayah semakin membuatnya merasa bersalah telah mengecewakan kedua orangtuanya itu. Dia telah menggores aib keluarga dengan memilih pemuda yang salah untuk dibawa kerumah dan diperkenalkan sebagai kekasihnya.

----0000000-----

Sebagian orangtua masih percaya dogma bahwa dicampakkan menjelang pernikahan adalah AIB dan NODA yang tak bisa hilang seumur hidup. Sesuatu yang hanya "sedikit" lebih jalang dari perceraian. Atau setidaknya begitulah orangtuaku.

"Kenapa pernikahannya batal? / Kenapa nggak jadi menikah?"

Rasanya pertanyaan itu terus berulang, berputar memanaskan telinga yang mendengar. Berulang kali dijawab dengan jawaban skeptis -atau diplomatis- , rupanya tak menyurutkan para pe-nanya untuk mendapat jawaban "memuaskan" atas pertanyaan usil mereka. Yang jelas, mereka harus tahu kenapa pernikahan ini bubar byar sebelum terlaksana.

Padahal waktu pelaksanaan tinggal menghitung hari, jika boleh dikatakan begitu. Hanya menyisakan 2 minggu sebelum hari H digelar, sang calon -mantan- mempelai pria dan keluarga memutuskan untuk "menunda" pernikahan. Ketika ditanya alasannya, jawabannya pun tidak memuaskan. Cenderung mencla-mencle. Lalu dengan santainya -atau tidak berperasaan- mereka meminta kami menyebut sejumlah nominal angka yang harus dibayar untuk mengganti semua kerugian ini.

Loh loh... apa ini? Bukankah pernikahan ini hanya "ditunda"? Atau kata itu hanya bentuk halus dari makna aslinya? Dan mengapa jumlah materi yang pertama dihitung di saat seperti ini? Mengapa tidak menanyakan perasaanku? Atau keluargaku?

Kulihat wajah pias dari Ayahku. Disusul dengan wajah merah padam Ibuku. Aku hanya tahu wajah itu akan muncul jika Ibuku marah besar. Dan kali ini kemarahannya tampak sangat nyata kulihat di hadapanku.

A Gift From GOD ( AL/YUKI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang