Aku meringis dalam hati, merasakan sebuah ironi. Soonyoung tidak tahu apa-apa tentangku. Dia tidak tahu bahwa aku dan Jihoon sebenarnya mempunyai kemiripan. Dan karena itulah aku bisa begitu dekat dengannya.

Jihoon tahu bagaimana awalnya aku yang begitu susah berinteraksi dengan orang lain. Aku yang masih bingung dengan apa yang baik dan sebaiknya tidak aku lakukan dalam hubungan pertemanan. Kami berdua, terlepas dari alasan masing-masing, sangat tidak berpengalaman dalam urusan bersosialisasi. Kami berdua juga sama-sama masih canggung dalam merespon segala bentuk kebaikan orang lain.

Hanya saja di sini, karena telah berjanji pada kakek dan diriku sendiri untuk berubah dan menjalani semuanya dari awal, aku berusaha untuk membaur. Dan usahaku bisa begitu dengan mudahnya kulakukan bukan karena aku yang mudah bergaul, tetapi karena orang-orang di sini, termasuk Soonyoung sendiri, adalah orang-orang yang baik.

"Dulu aku sudah berusaha untuk bisa dekat dengannya, mengingat bahwa kami adalah teman sekamar. Tetapi dia sangat terlihat sekali menjaga jarak dariku. Dia membatasi diri dalam berinteraksi dengan orang lain," Soonyoung melanjutkan. "Jadi Jeonghan, kenapa kau merasa Lee Jihoon tiba-tiba menghindarimu?"

Aku sudah berencana akan melibatkan Soonyoung dalam masalahku dengan Jihoon. Jadi sebaiknya aku memang harus memberikan informasi seperlunya padanya.

"Beberapa hari yang lalu ketika aku dan Jihoon sedang dalam perjalanan untuk menonton pertandingan Chan, empat orang laki-laki menghandang kami. Mereka mengenal Jihoon dan memperlakukannya dengan buruk," jelasku berusaha seringkas mungkin menceritakan kronologis kejadian yang menjadi awal dari semua masalah ini. "Karena Jihoon diam saja, aku yang tidak terima mulai membelanya dan berujung dengan berkelahi dengan mereka."

"Jadi luka di sudut bibirmu kemarin dan juga di buku-buku jarimu adalah bekas pukulan mereka?" tanya Soonyoung sambil menatapku dengan pandangan kaget, yang bagiku sangat berlebihan mengingat aku baik-baik saja dan hanya luka-luka ringan.

"Ya, begitulah," sepertinya aku tidak perlu menceritakan pada Soonyoung bahwa aku telah memberikan luka yang lebih parah kepada mereka berempat, ataupun tentang kenyataan mengenai kami yang sempat ditangkap oleh polisi. "Dan setelah aku dan mereka selesai berkelahi, aku baru menyadari kalau Jihoon sudah tidak ada di tempat kejadian. Sejak saat itu aku tidak bertemu lagi dengannya, baik di kelas ataupun di asrama."

Soonyoung mengetuk-ngetukkan telunjuknya di dagunya terlihat berpikir. "Sepertinya Lee Jihoon baik-baik saja. Dia masih sependiam seperti biasanya," kata Soonyoung setelah beberapa saat terdiam. "Beberapa kali aku juga melihatnya di kampus."

Berarti memang benar, Jihoon berniat ingin menghindariku. Dan yang membuatku bingung adalah kenapa dia ingin menghindar dariku? Apa aku telah melakukan suatu kesalahan padanya?

Apa mungkin Jihoon marah karena aku telah menghajar teman-temannya waktu itu? Tapi apakah mereka bahkan bisa disebut berteman?

"Soonyoung, aku boleh meminta bantuanmu?"

"Apa?"

"Biasakah kau bicara pada Jihoon dan bujuk dia supaya mau menemuiku? Bagaimanapun aku harus berbicara dengannya."

"Itu sangat tidak mungkin," sergah Soonyoung cepat. "Aku bahkan hampir tidak pernah berbicara dengannnya."

"Oh, ayolah!" sahutku dengan nada membujuk. "Kau belum bisa mengatakan tidak mungkin kalau kau bahkan belum mencobanya. Aku sudah berusaha menghubunginya, tetapi teleponku tidak pernah diangkat, pesanku juga tidak pernah dibalas olehnya."

Soonyoung kembali terdiam sejenak dengan kening yang mengernyit, sebelum akhirnya dia menyetujui permintaan tolongku. "Tapi aku tidak bisa menjanjikan apapun padamu. Aku hanya akan mencobanya."

Bunga Iris dan TakdirWhere stories live. Discover now