BAB VII : SERBUAN TENGAH MALAM

Start from the beginning
                                    

“Jangan bilang begitu ah, kita kan teman,” ujar Ali sembari berjalan menuju ke dapur dan membuat kopi.

“Masih mengajar anak-anak SD, Li?”

“Masih dong.”

“Kau sudah jadi PNS?”

“Sudah. Ngomong-ngomong gimana kehidupanmu di kota?”

“Kota masih ramai seperti biasanya, penuh hiruk-pikuk, dan orang-orang berhati kotor.”

“Dan kau masih meraba-raba hati orang-orang itu?”

“Heh,” Janggala mendecakkan lidah, “masih.”

Ali muncul dari dalam dapur dengan membawa dua cangkir kopi, “Ayo diminum. Kopi tubruk khas daerah ini nih.”

“Di mana-mana kopi tubruk juga ada, Li. Bukan daerah ini saja.”

“Rasanya beda. Coba saja,” Ali ngotot.

Janggala menyeruput kopi itu sedikit sebelum akhirnya menoleh kembali ke arah Ali, “Yah, setidaknya lebih enak daripada kopi bikinan warung tadi.”

Dua orang itu pun langsung tertawa berderai.

*****

Ketika Janggala bangun keesokan harinya dan bermaksud untuk cuci muka ia melihat Ali tengah berdiri di hadapan sebuah palinggih[1] dengan mengatupkan kedua tangannya di atas kepala dengan penuh khidmat dan konsentrasi. Janggala menyaksikan kawannya itu untuk beberapa saat sebelum kawannya itu menyelesaikan doanya.

“Hei, sudah bangun Bung?” sapa Ali.

“Sudah tuh.”

“Oya aku hari ini ...,” Ali belum sempat menyelesaikan kata-katanya ketika seseorang masuk ke halaman rumahnya dan menyapa mereka berdua, “Assalamu’alaikum Nak Ali.”

“Wallaikum’salam Pak,” balas Ali sembari menoleh ke arah seorang pria tua berbaju gamis coklat yang baru saja memasuki pekarangan rumahnya.

“Nak Ali sedang sibuk?”

“Em sebenarnya tidak, ada apa Pak?”

“Bisa Bapak minta tolong Nak Ali sebentar?”

“Bisa, urusan apa ya Pak?”

“Lebih jelasnya kita ke balai desa saja ya Nak Ali.”

“Baik Pak, sebentar ya,” Ali segera memakai sandalnya dan ikut dengan pria tua itu. Janggala mengikuti dari belakang.

Tiga orang pria itu sampai di balai desa di mana tampak beberapa lima orang telah berkumpul di sana. Dua orang dari antara mereka adalah pria muda yang pakaiannya yang lebih bagus daripada yang lain. Sesuatu yang di mata Janggala terlihat sebagai kemeja batik yang dibuat dari bahan kain satin yang halus – menandakan bahwa si pemakai adalah orang dengan status sosial tinggi. Seorang pria lain juga tampak mengenakan pakaian batik, namun bahannya tidak semewah dua orang itu. Sebuah lencana KORPRI tersemat di dadanya, menandakan bahwa orang itu adalah sang kepala desa. Dua orang lainnya tampak mengenakan seragam coklat khas PNS.

Sang Awatara - Tinju Petir BrajamustiWhere stories live. Discover now