BAB VII : SERBUAN TENGAH MALAM

2.1K 139 7
                                    

Matahari berangsur-angsur mulai terbenam di ufuk timur, menyembunyikan diri di balik megahnya sebuah gunung. Mahardika Ali menghentikan kayuhan sepedanya yang melaju di antara pematang sawah lalu menatap ke arah matahari yang terbenam itu. Cukup lama ia berhenti sebelum melanjutkan kembali perjalanannya.

Sepeda yang dinaiki pria berambut hitam klimis itu adalah sepeda tua untuk zamannya. Sepeda berwarna biru tua dengan sistem perseneling dan roda-roda bergerigi, membuatnya bisa melaju di jalanan yang tak beraspal tanpa kesulitan sama sekali namun modelnya sudah ketinggalan zaman.

Sepeda itu melalui deretan rumah-rumah bercat putih kusam di mana si pengayuh melambaikan tangan dan tersenyum ramah kepada sekumpulan ibu-ibu yang tampak memilah-milah kecambah dengan tampi (nampan bambu).

“Baru pulang Nak Ali?”

“Iya Bu,” jawabnya sambil tersenyum lalu kembali berlalu menuju sebuah kompleks perumahan yang ada di atas sebuah bukit.

Ali sampai di sebuah rumah bercat kuning kusam dengan kusen daun jendela yang dibuat dari kayu jati. Atap rumahnya berbentuk joglo, dengan genteng merah bata yang sudah mulai menghitam. Sebuah rumah khas Jawa Tengah yang keberadaannya sudah langka namun masih dijumpai beberapa di desa ini.

Ali memarkir sepedanya di depan teras rumah lalu mengikat ban sepedanya dengan sebuah rantai dan menggemboknya. Pria muda itu lalu berdiri dan berjalan ke pintu rumah sembari merogoh sakunya untuk mengambil sebuah kunci.

“Ali!” terdengar suara seseorang memanggilnya.

Ali menoleh ke belakang dan mendapati seorang pria tersenyum sembari melambai-lambaikan tangannya ke arahnya.

“Janggala!” Ali batal memasukkan anak kunci itu dan berjalan menghampiri pria yang menyapanya itu, “Kapan datang?”

“Baru saja! Sempat aku singgah ke warung kopi di sana.”

“Ayo masuk-masuk! Kau tidak bilang akan datang kemari.”

“Memang mendadak. Maaf saja,” jawab Janggala sembari menatap ke arah barat di mana petak-petak sawah dan ladang palawija masih terhampar hijau, “Desa yang indah,” ujar Janggala.

“Ya, setidaknya untuk beberapa saat,” nada bicara Ali tiba-tiba lesu.

Janggala langsung menoleh kepada Ali, “Ada apa memangnya?”

“Ah lupakan, kau kemari untuk berlibur kan? Ayo masuk,” Ali buru-buru membukakan pintu dan mempersilakan Janggala masuk.

“Kamar di sana kosong dan baru saja kubersihkan,” Ali menunjuk ke satu kamar berpintu kayu yang dicat merah, “Maaf kalau tidak sesuai seleramu ya.”

“Ah tak apa,” Janggala tersenyum, “terima kasih sudah mau menerimaku.”

Sang Awatara - Tinju Petir BrajamustiWhere stories live. Discover now