"Aku akan membersihkan luka di buku-buku jarimu terlebih dulu sebelum menutupnya dengan plester," kata Seungcheol sambil memegang pergelangan tangan kananku dan mendekatkan punggung tanganku tepat di depan wajahnya supaya dia bisa meneliti lukaku lebih jauh. "Sepertinya lukanya tidak parah. Selain itu hanya jari telunjuk dan jari tengahmu saja yang lecet."

"Aku sudah bilang kalau lukaku tidak parah. Jadi kau tidak perlu bersikap berlebihan," aku mengerucutkan bibirku, merasa sebal karena dia tidak mendengarkanku dari awal. "Dulu aku sering mendapatkan luka yang lebih parah dari ini dan kadang membiarkannya saja tanpa diobati."

"Dan maksudmu adalah?"

"Maksudku adalah kau tidak perlu mengobati lukaku."

Seungcheol mengernyit menatapku dengan tangannya yang masih menggenggam pergelangan tanganku. "Kalau kau dulu tidak mengobati lukamu, bagaimana lukamu bisa cepat sembuh dan tidak terinfeksi?"

"Menjilatnya?" jawabku spontan. Aku hanya asal bicara saja ketika menjawab pertanyaan dari Seungcheol supaya dia tidak lagi bersikeras untuk mengobati lukaku. "Kau tahu cara itu katanya sangat-"

Tiba-tiba saja dan tanpa aba-aba, Seungcheol membawa tanganku yang masih ada dalam genggamannya untuk lebih mendekat kepadanya dan menempelkan buku-buku jariku di bibirnya yang sedikit terbuka. Dan aku merasakan ujung lidah Seungcheol menyapu buku-buku jariku.

Aku mengerjap, masih belum bisa mencerna apa yang saat ini sedang terjadi. Detak jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.

Seungcheol menjilat buku-buku jariku.

Demi Tuhan!

"APA YANG SEDANG KAU LAKUKAN?!" seruku dengan kesal sambil berusaha untuk menarik tangan kananku dari genggaman Seungcheol. Namun sepertinya dia tidak ingin melepaskannya. Dengan kuat dia masih saja memegangi tanganku dan tetap menempelkan buku-buku jariku di bibirnya.

"Mengobatimu," bisik Seungcheol.

Aku kembali mengerjap dan beberapa saat menghentikan aksi menarik tanganku ketika merasakan bibir Seungcheol bergerak lembut di atas buku-buku jariku ketika sedang berbicara.

Apa yang sedang terjadi padaku?

Kenapa rasanya ada sesuatu yang menggelitik di dadaku? Dan kenapa aku merasakan wajahku memanas? Apa aku sedang malu?

Sadarlah Jeonghan! Sekarang bukan saatnya untuk memikirkan perasaan aneh yang sedang kau rasakan.

Dengan sekali sentakan aku melepaskan tanganku dari genggaman Seungcheol saat kurasa genggamannya sedikit mengendur.

"Seungcheol, kau menjijikkan!" semburku sambil menyembunyikan tangan kananku di belakang punggung dan berusaha mengabaikan rasa panas di buku-buku jariku, tempat di mana tadi bibir dan lidah Seungcheol menempel. "KENAPA KAU MENJILAT BUKU-BUKU JARIKU? APAKAH KAU TIDAK TAHU KALAU ITU KOTOR?"

Oh, ayolah Jeonghan! Abaikan rasa panas imajiner itu. Rasa panas itu hanya imajinasimu saja. Abaikan! Abaikan!

"Bukannya tadi kau sendiri yang bilang kalau lukamu akan cepat sembuh dengan dijilat?" Seungcheol memberiku senyum pura-pura polosnya. "Aku bilang aku akan mengobati lukamu, jadi aku melakukannya. Apa luka di sudut bibir kirimu juga perlu aku jilat?"

Aku memolotinya untuk menyembunyikan rasa maluku yang semakin menjadi-jadi membayangkan dia menjilat sudut bibirku. "Jangan berani-beraninya kau melakukan itu!" desisku.

Seungcheol hanya sedang menggodamu Jeonghan. Berhenti membayangkan yang bukan-bukan.

Otakku benar-benar sedang terganggu.

Seungcheol bodoh!

"Kalau begitu kau tinggal pilih," Seungcheol kembali memberikanku senyumnya, dan kali ini dia tidak menyembunyikan ekspresi licik di wajahnya. "Aku mengobatimu dengan obat ini tanpa protesmu, atau aku mengobati lukamu dengan menjilatnya."

Bunga Iris dan TakdirDonde viven las historias. Descúbrelo ahora