Bagian Lima Belas: Saka Ati

Start from the beginning
                                    

"Terima kasih..." bisik warok tua itu lagi.

Aji mendongak, menatap mata yang memandangnya lembut tersebut. Warok tua itu tersenyum sendu.

"Aji yang berterimakasih untuk semuanya, ndoro..."

"Kamulah yang mengajari ndoro-mu soal cinta, soal hal yang bahkan belum pernah ndoro-mu ini rasakan dalam hidup berbudayanya. Terima kasih..."

Aji menggeleng.

"Ndoro..."

"Juga maaf, cah bagus. Sudah merampas hidupmu, menjadikanmu seorang gemblak di mata orang lain."

Aji menggeleng makin kencang.

"Cinta tidak pernah meminta maaf, ndoro..."

"Tapi cinta warok tua ini patut untuk memohon maaf. Karena muncul dengan seenaknya, tanpa memikirkan perasaanmu."

"Aji mencintai ndoro tanpa pernah meminta maaf. Hanya terima kasih, untuk semua yang pernah ndoro berikan dan ajarkan pada Aji."

Warok tua itu bersenandung pelan. Mengalun damai dan lembut. Aji tersenyum, memeluk pinggang warok tua itu dengan raut sayang. Mereka hidup bersama, dengan saling menggenggam jemari satu sama lain. Aji menjadi saksi bagaimana padepokan Reog warok Sumitro berkembang, lalu memisahkan diri. Warok Sumitro yang menyuruh mereka untuk mandiri. Mungkin warok tua itu sadar kalau beliau tidak punya penerus di sini.

Warok-warok muda lainnya menangis ketika mendapat perintah itu. Mereka berbondong-bondong datang ke padepokan warok Sumitro dan menangis. Mereka tidak ingin melepaskan diri dari sang warok perkasa yang bijaksana itu. Warok Sumitro tersenyum, lantas memberikan perintah terakhirnya: Budoyo iku lakuning diri. Saka ati. Budaya itu perilaku diri. Dari hati.

Setelah itu mereka berjanji akan tetap berdiri di atas nama budaya. Bertahan dan juga tidak akan pernah mundur dari tempat itu.

"Cah bagusku..."

"Nggih, ndoro?"

"Apa kamu tahu tentang mati moksa?"

"Mati tanpa meninggalkan jasad, menghilang begitu saja layaknya sang Patih Agung Gajah Mada, ndoro?"

"Iya, cah bagus..."

"Ada apa, ndoro?"

"Seandainya ndoro-mu ini moksa, apa yang akan kamu lakukan?"

"Aji tidak tahu, ndoro. Tapi Aji tidak pernah berharap ndoro meninggalkan Aji seorang diri." Diam-diam Aji menitikkan air matanya.

"Sayangku....?"

"Iya, ndoro?"

"Bisa kamu carikan nama panggilan yang bagus untuk menyebutkan nama ndoro-mu ini?" Warok Sumitro mengelus kepala dalam pangkuannya itu.

"Apa ndoro tidak suka dengan sebutan ini?"

Warok Sumitro terkekeh.

"Ndoromu ini bukan priyayi lagi, cah bagus. Hanya seorang bekas warok, yang sudah tua dan juga sudah pensiun dari laga budaya."

"Tapi ndoro tetap seorang priyayi di hati Aji."

"Segitu tingginya?"

"Ndoro adalah raja di hati Aji. Seperti Kelanaswandana terhadap Dewi Sanggalangit."

"Cah bagus?"

"Iya, ndoro?"

"Rawat padepokan ini kalau ndoro-mu meninggal, anggap ini hadiah terakhir dari warok tua renta ini, ya cah bagus..."

Mencari GemblakWhere stories live. Discover now