Bagian Tujuh: Lakon

9.1K 1K 235
                                    

Saya percaya, meski kini sudah mulai renta budaya tetaplah budaya.

***

Kalau ditanya bagaimana perasaan Aji, anak itu akan menjawab dengan polos kalau dia senang akhir-akhir ini. Dia sering datang dan bertemu dengan ndoro waroknya. Dengan suara berat dan juga bijak, ndoro warok selalu mengajarinya macam-macam. Dengan sabar selalu menjawab semua pertanyaan Aji. Aji benar-benar terharu. Sangat terharu atas semua kebaikan yang diberikan oleh ndoro warok.

Ndoro warok tidak pernah bosan mengajarinya. Mengajarinya banyak hal. Tentang pelajaran di sekolah sesekali. Soal berhitung, atau soal budaya. Soal alam juga. Aji tumbuh dengan belajar banyak hal di padepokan Reog mbah Sumitro. Pak Suwongso tidak pernah keberatan. Aji seolah membawa rezeki tersendiri untuknya. Berkat pesanan mbah Sumitro, kini jenang ketan pak Suwongso mulai terkenal di sana. Pak Suwongso selalu mendapatkan pesanan tambahan berkat mbah Sumitro.

Semakin sering Aji berkunjung, semakin bahagia mbah Sumitro. Lelaki tua yang masih tampan itu selalu menyambut kedatangan bocah manis penuh santun itu di depan padepokannya. Terkadang bila Aji dan pak Suwongso terlambat, mbah Sumitro akan memerintahkan Bawon untuk menelpon HP pak Suwongso.

"Hari ini kita mau belajar apa, cah bagus?"

Aji menunduk, memilin ujung bajunya malu-malu. Beberapa bulan ini Aji sering sekali mendapatkan ilmu dari warok Sumitro. Dia selalu bertanya, lalu dijawab dengan sangat sabar oleh beliau.

"Aji mau tanya soal raja Kelanaswandana, ndoro..." Aji menggaruk tengkuknya. Mbah Sumitro tersenyum, lalu mengajak anak itu duduk di joglo.

"Jadi, Aji sudah baca darimana?" tanya mbah Sumitro lagi. Mbah Sumitro sudah memberikan hadiah buku bacaan untuk Aji. Aji menolak awalnya, mengatakan kalau dia tidak boleh menerima apapun dari ndoro warok. Itu pesan ibunya.

Namun karena dipaksa setiap saat, Aji mau membawa buku-buku itu. Anak itu antusias sekali ketika melihat lemari reot miliknya di rumah sudah penuh dengan buku-buku bacaan. Buku-buku itu jauh lebih berharga dari barang-barang lain miliknya di rumah. Aji merawatnya, memberinya sampul dengan kalender bekas. Itu adalah barang berharga yang diberikan ndoro warok padanya.

"Ndoro, raja Kelanaswandana itu kenapa suka dengan laki-laki?" Aji mengerjap, menuntut warok Sumitro dengan jawaban masuk akal. Aji tidak punya TV di rumah, jadi dia tidak tahu berita soal LGBT dan hal-hal kontroversi lainnya. Anak itu juga tidak bermain di internet dan hanya fokus pada dunia membacanya.

Warok Sumitro bingung harus menjawab darimana. Bagian dari dirinya juga ikut memberontak. Tidak hanya raja Kelanaswandana yang menyimpan rasa dan sayang terhadap laki-laki. Dirinya pun sama. Menyimpan sebuah rasa terlarang. Seandainya saja istri-istrinya cukup membuatnya nafsu, mungkin tidak akan jadi seperti ini. Banyak warok yang beristri dan punya anak pada zaman sekarang, namun warok Sumitro berbeda. Beliau masih memegang teguh soal pantangan dari ilmu kanuragannya. Dilarang bersenggama dengan wanita.

"Itu dorongan nafsu, cah bagus. Raja Kelanaswandana suka melihat anak laki-laki seperti kamu dan tidak tertarik dengan para perempuan."

"Kalau ada perempuan cantik, raja Kelanaswandana tidak mau ya ndoro?"

"Iya, cah bagus. Raja Kelanaswandana meski beliau adil dan bijaksana, namun beliau adalah manusia biasa yang punya kekurangan. Menungsa iku isine becik lan ala. Ora ono menungso kang becik kabeh, utawa ala kabeh. Masio sethitik, lamun isih ono ati lan nurani ing awake. 1)" Mbah Sumitro senang sekali membuat pernyataan dengan bahasa Jawa. Aji tersenyum, mengangguk lagi.

Mencari GemblakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang