Bagian 1

21.2K 1K 8
                                    

Sudah lebih dari lima kali, Miranti menelepon Venus. Hal ini dia lakukan hanya sekedar untuk memastikan kesukarelaan putrinya mengikuti perjodohan.

″Tidak,″ tolak Venus untuk sekian kalinya.

″Mau sampai kapan?″ tanya Miranti tak sabaran dari seberang telepon.
Venus hanya bisa mendesah berat. Dia merasa terlalu muda untuk menikah. Lagi pula, dia memang berencana untuk tidak menikah.

″Ya,″ jawab Venus, ″sampai aku sudah bosan melajang.″

″Mama ndak mau tahu,″ tegasnya. ″Pokoknya, kamu harus segera bawa calon. Kalau ndak, silakan pilih sendiri calon yang dari Mama.″

Argh, mengapa Miranti ngotot ingin menikahkan Venus?

Tidakkah dia bisa melihat ketidakinginan sang putri untuk menikah sejelas tulisan dilarang parkir?

″Ma,″ ucap Venus merajuk. ″Aku masih kecil untuk menikah.″ Venus sengaja memberi penekanan pada kata kecil. Berharap, Miranti paham dan bersedia mengalah-menyudahi debat kusir.

″Ya ampun, Venus!″ cerocos Miranti, ″temanmu, si Mirna saja menikah di umur dua puluh tiga. Apa kamu ingin jadi perawan tua? Ndak malu ama adekmu, apa? Anggita, kamu tahu sendiri, sudah berapa banyak cowok yang dia kenalkan ke Mama sebagai ′pacar′? Yang benar saja, kamu kalah dengan bocah SMA? Mama malu. Bu Parmi kemarin sore cerita ke Mama, anaknya bulan depan akan menikah di Bali. Kamu kapan? Mama minta kepastian. Titik!″

Perawan tua sebenarnya terlalu berlebihan. Di luar negeri, kaum wanita bebas menentukan dirinya ingin menikah atau melajang. Bebas. Tidak ada tekanan. Tidak ada interferensi. Merdeka! Sayang, Venus hidup di negara yang kebetulan dipenuhi dengan ibu-ibu yang selalu mengkhawatirkan status yang melekat di anak gadis mereka. Semakin cepat si gadis menikah, semakin banyak hal yang bisa dipamerkan pada tetangga. Dan, Venus tahu maksud tersembunyi ibunya. Venus menduga, Miranti akan memamerkan calon menantunya layaknya pamer tas bermerek sembari tertawa riang bernada, ohohohoho. Lalu, adegan akan berlanjut dengan kalimat semacam, ″Lihat, menantuku. Ganteng, kan?″, ″Eh, Bu Parmi. Anakku akan menikah, loh.″

Venus menggelengkan kepala. Berusaha mengusir bayangan buruk dari kepalanya.

″Ma, bagaimana kalau nanti aku bawakan soto yang Mama suka?″

Terdengar suara dengusan. ″Jangan mengalihkan pembicaraan.″

Venus memijat pelipisnya yang berdenyut. Siasatnya tidak berhasil.

″Pokoknya, Mama pengin lihat kamu segera menggandeng calon suami.″

Setelah itu pembicaraan terhenti.
Miranti sudah memutus jalur telepon dan meninggalkan sakit kepala tak tertahankan. Venus mulai meletakkan dahi di atas meja kerjanya, menekan keras hingga mungkin bisa meretakkan kaca meja yang dipakainya.

″Ven, are you okay?″ tanya Winda yang sedari tadi mendengarkan percakapan Venus dari balik kubikel.

Venus hanya mengangkat tangan kanan sambil menggoyangkan jempolnya sebagai tanda bahwa dia tidak baik-baik saja.

Winda mulai meninggalkan meja kerjanya yang berada tepat di samping kanan kubikel Venus. Dihampirinya Venus, memastikan bahwa sahabatnya itu belum berubah menjadi sesuatu.

″Memangnya, kamu nggak ada calon?″

Venus mengangkat wajahnya yang lesu. ″Nda, kamu tahu sendiri motoku.″

Winda mengangguk. ″Jadi Kartini.″

″Bagus.″

″Ven, jadi Kartini bukan berarti melajang seumur hidup.″

Venus (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang