Ch. 5 [END OF ADAM'S POV]

4.9K 717 31
                                    

"Daaan akhirnya gue kelar juga," Kei tiba-tiba ambruk di punggung gue yang lagi tengkurap di atas kasurnya, kayak lega banget udah selesai ngoreksi pekerjaan gue dari setengah jam lalu. Kita berdua emang langsung mulai sesi tutornya begitu balik dari sekolah, nggak pakai ganti baju atau apalah.

"Gimana?" tanya gue tanpa noleh ke dia, masih asyik mentengin komik One Piece yang dia punya. "Lolos gak?"

Kei kedengaran menggerutu. Dia mukul belakang kepala gue pakai gulungan kertas beberapa kali. Gak sakit sih, tapi sukses bikin gue kesel setengah mati.

"Lolos? Daam plis, bener setengahnya aja enggak!" seru ciprik satu itu kenceng. Dia ngehentakin diri, kemudian ganti duduk di punggung gue, narik-narik seragam gue seakan-akan dia lagi nunggang kuda. "Lo serius gak sih Dam ngerjainnya??"

"Ah berisik!" gue bales bentak, berusaha nyingkirin anak itu dari punggung gue. "Berarti lu yang ngajarnya nggak bener! Kenapa gua mulu yang salah kalau sampai sekarang gua belom lolos ha?"

"Eh lo tuh ya, nggak tau diuntung!" seru Kei kesal, tarikannya ke seragam gue makin kenceng sampai bikin gue kecekik. "Udah baik gue mau jadi tutor lo, sampai bikin study camp kek gini dan lo masih berani nyalahin gue?!"

"Eh ciprik lu mau gua mati?!" gue mulai sesak nafas, dan pas Kei lengah, gue akhirnya bisa dorong badan gue ke samping. Kei kelihatan kaget, tapi dia masih keukeuh dudukin gue yang kini udah telentang. Tangan kecilnya ganti narik kerah gue bagian depan.

"Kalo lo serius dari awal, lo pasti bisa!" seru Kei, kelihatan marah.

Gue menghela nafas. Tangan anak itu gue cengkram, bikin Kei meringis kesakitan. Gue nggak peduli.

"Kalau lu mau berhenti sekarang, gua nggak keberatan," ujar gue datar.

Gantian Kei yang diem. Dia rada mikir juga pas denger omongan gue, lalu menggeleng.

"Gue belom mau nyerah," ucap Kei sungguh-sungguh. "Lagian, kalau gue berhenti sekarang, gue bakal kalah dari taruhan kita kan?"

Taruhan. Ah ya, gue inget sekarang.

"Kei, seriously, waktu itu gua cuma bercanda," sungut gue, ngalihin pandangan lantaran natap Kei terus bikin mata gue sakit. Secara, kepala anak itu tepat membelakangi lampu. Sinarnya bikin pedih. "Kalau lu emang keberatan ya nggak masalah juga."

"Enggak, enggak," Kei menggeleng, lalu menghela nafas. Dia mijet pelipisnya, seolah barusan debat sama anggota PBB ketimbang gue yang notabene anak bodoh tapi keras kepala. Gue muter bola mata, mau balik lagi ke komik yang baru separuh gue baca, sebelum tangan Kei megang pergelangan tangan gue.

"Apa?" gue natap dia lagi.

"Serius, Dam," ucap Kei dengan nada rada dingin, dan nggak tau kenapa aura ciprik satu itu jadi beda. "Gue bakal pelan-pelan kali ini. Ayo."

Nggak tau kenapa, ketika Kei narik tangan gue buat bangkit, gue nurut aja. Gue juga masih diem pas Kei bikin gue duduk manis di depan meja belajar, megang pensil di tangan kanan dan penghapus di tangan kiri, bener-bener kayak robot. Kei ngambil kacamata fullframe item yang cuma dia pakai kalau lagi belajar, nguncir rambutnya model buntut kambing (lantaran kuncirannya kependekan buat gue sebut buntut kuda) ke belakang yang bikin dia keliatan setaun lebih tua, lalu berdiri di sisi gue.

Dia membungkuk, memenuhi penciuman gue dengan bau keringat dia yang sebenernya nggak buruk-buruk amat―stroberi sama bedak bayi. Campuran yang aneh, tapi bikin gue rileks.

...

Otak gue fix korslet.

"Jadi, soal yang paling dasar dulu tentang geometri," suara Kei juga jadi lebih berat, nggak tau kenapa. "Persamaan yang perlu lo ingat adalah y=mx+c, dan itu yang paling gampang."

Gue ngangguk. Tangan kiri Kei tiba-tiba pindah, megang sandaran kiri kursi yang gue dudukin, membuat posisi dia secara nggak langsung meluk bahu gue.

"Selain persamaan barusan, lo juga harus hafal yang y-y1=m(x-x1). Itu kalau garis melalui titik (p) dengan koordinat (x,y)."

Kei terlalu dekat. Gue bisa rasain hembusan nafasnya kena anak rambut gue, bikin gue merinding nggak tau kenapa. Aroma badan dia juga makin memenuhi paru-paru gue. Bukan gue nggak suka, tapi efeknya itu lho, kenapa bisa bikin gue kayak mabuk ya? Dan kayaknya Kei sadar gue mulai nggak konsen, karena dia langsung noleh dengan raut muka kesal.

"Dam, lo bisa―"

"―sori."

Kami berdua bicara barengan, noleh barengan juga. Gue bisa lihat refleksi wajah gue dengan jelas di mata karamel Kei. Pupil anak itu melebar, sebelum akhirnya dia narik kepalanya ke belakang seolah barusan tatap muka sama makhluk jadi-jadian.

"Whoah!" seru Kei, sambil megangin dadanya pula. "Eh anjing, lo mau gue kena serangan jantung hah?!"

"Gua salah apa lagi, ciprik??!" bales gue nggak terima.

"Muka lo!" jerit Kei alay banget, pakai nunjuk gue pake jari segala.

"Iya, sori, muka gue buruk rupa dari sananya," gue mendengus, lalu fokus lagi ke kertas di atas meja. Mentang-mentang Kei punya penampilan fisik yang emang bikin kaum Adam iri, cih.

"Bukan itu, tadi barusan―aaaarrgh!!!" Kei kelihatan frustasi sendiri, sampai nutup mukanya pake telapak tangan. Gue heran kenapa kulit anak itu jadi merah. Suhu ruangan Kei nggak panas kok. Dia juga kayaknya nggak sakit atau demam. Masa iya cowok bisa nge-blush?

Eh, ngapain juga dia blushing?

Otak gue beneran mulai gesrek kayaknya.

"Masi sanggup gak lanjut?" gue nanya ke Kei yang masih ngedumel gak jelas, pake guling-guling segala di kasur dia.

"Hah?" Kei natap gue, dan ekspresi anak itu seolah baru sadar dari tadi gue ada di kamar dia. "Lanjut apaan?"

"Yang bego disini siapa sih sebenernya?" gue neken-neken pelipis pake pensil, mau gak mau ngatain Kei lantaran percakapan ini mendadak bodoh banget. "Lu masih bisa ngajarin gua gak, Kei?"

Otomatis Kei bangkit. Dia mengernyit ke arah gue dan keliatan tambah tua aja.

"Ya pastilah kita bakal lanjut," sergah Kei. "Apa yang bikin lo ngira gue nggak bakal lanjut ngetutor lo?"

Gue natap Kei datar. Anak itu seriusan?

"Muka gua," gue nunjuk wajah sendiri pake jari. "Lu kan barusan jejeritan bilang muka gua mirip setan."

"Kapan!" seru Kei nggak terima, refleks ngelempar bantal. "Udah, nggak perlu bahas kejadian tadi. Lanjut lanjut!"

Gue muter bola mata. Sekali ciprik kayaknya bakal jadi ciprik selamanya. Kasian bener pembokat Kei, punya majikan ababil macam dia. Gue harap kelar study camp gak bener ini, nilai gue beneran bisa naik. Kalau enggak, liat aja. Gue bakal nyiksa Kei lantaran dia bikin gue buang-buang waktu sebulan di istana dia.


Chemistry [in ed.]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora