Ch. 3

5.3K 764 24
                                    

Gue nggak bisa berhenti melongo pas masuk rumah Kei―kalau bangunan ini bisa disebut rumah, ha-ha. Gue baru tau Kei anak konglomerat kelas kakap. Kelakuannya di sekolah macem monyet lepas sih. Gue kira rumahnya di hutan belantara sana.

"Den," salah seorang pembantu di dalam tiba-tiba dateng, nunduk dalem banget kayak pengen nyium lantai, sementara Kei cuman ngangguk.

"Bik, kenalin ini Adam. Dia bakal tinggal disini sebulan ke depan sampe kita kelar UKK. Kamar lantai dua masih kosong kan ya?"

"Iya Den," perempuan paruh baya itu kali ini natap gue. "Den Adam mau minum apa Den?"

Risih gue dipanggil Den, seumur-umur mana pernah dipanggil begitu. Mana nadanya hormat banget pula.

"Anak ini dikasih comberan juga nggak bakal protes," Kei tertawa ngejek.

"Lu berisik," gue nonyor kepala dia, dan entah kenapa bibi pembantunya Kei terkesiap horor seolah yang barusan gue aniaya itu Hitler atau sebangsanya.

"Anjing, sakit bego," Kei menggerutu, lalu ganti natap bibinya. "Kita mau langsung makan malem aja Bik."

"Baik Den," dan bibi itu mundur, walau keliatan masih takut.

"Pembokat lu aneh," gue komentar pas kami naik tangga ke lantai dua. "Seolah-olah lu itu presiden dan gua teroris."

"Yah muka lo nggak jauh-jauh dari teroris, gue akui," sahut Kei ngasal.

Gue mendengus. Mau serius sama Kei itu mustahil rasanya. Dia kemudian masuk ke salah satu kamar, di pintunya ada plakat dari logam gitu. Gue baca namanya, terus ngangkat alis : KEI'S.

"Lha, gua nggak dapet kamar sendiri?" tanya gue.

"Kamar lo masih kosong," Kei menoleh. "Kecuali lo mau tidur di lantai sih. Gue bakal minta Bik Sum buat nyiapin kamar sebelah, dan kayaknya baru minggu depan bisa kelar. Jadi lo tidur di sini dulu."

Gue ngangguk aja.

Kemudian hening. Kei duduk di pinggir tempat tidur ukuran king-nya yang mewah, natap gue dari atas sampe bawah. Risih gue digituin.

"Apaan sih nyet," gumam gue, ngusap belakang leher lantaran mendadak geli.

"Lo akhir-akhir ini diem di sekolah," ujar Kei. "Aneh."

"Emang lu mau gua tonjok lagi?" gue muter bola mata. "Aneh gimana?"

"Ya aneh aja gitu," Kei berdiri, mengambil satu langkah maju. "Gue rasa lo jadi makin... jinak."

Nih anak. Dikata gue babi hutan apa?

Kei maju lagi, dan pas sadar, tuh anak udah menginvasi personal space gue. Karena tinggi Kei paling mentok cuma sedagu, otomatis gue nunduk natap dia.

Whoa. Gue baru sadar mata Kei warna cokelat muda.

"Dam," panggil Kei, dan gue mengerjap.

"Huh? Apa?" jawab gue.

"Ayo taruhan," Kei menyeringai, dan jujur, gue sampe merinding. "Kalau gue berhasil ngajarin lo... sampe kita berdua naik kelas, lo harus nurutin apa aja yang gue mau."

Hening. Gue ngerjap dua kali.

"HAAHAHAHA!!" gue tertawa tiba-tiba. Naik kelas? Bisa dapet lebih dari angka 50 buat Kimia aja gue udah bersyukur, lha ini? "Lu bercanda? Sekalian aja, kalau lu berhasil bikin gua dapet peringkat satu, gua bakal jadi budak lu selama setahun!"

(dan btw itu gak mungkin banget lantaran untuk dapetin ranking satu, artinya gue harus ngalahin bocah Einstein ciprik di depan gue ini)

"Oke."

Chemistry [in ed.]Where stories live. Discover now