Chapter 1

16.8K 382 8
                                    

Aku duduk dengan gelisah di samping Daniel sembari menatap kesal ke arah kedua orang tuaku. Ia menyuruhku bergabung dengan mereka dan mengikutsertakanku ke dalam sebuah perdebatan sunyi. Entahlah.. Apa yang telah membuat suasana menjadi secanggung ini.


"Ehm jadi, kau pasti Hazela bukan?" tanya wanita yang berada di seberangku memecah kesunyian. Aku mengangguk. Ia cantik dan elegan. Kurasa ia belum terlalu tua, jadi kukira umurnya sekitar 35 tahunan. Sedari tadi kuperhatikan, ia memang berusaha membuka percakapan, namun ia selalu ragu.

"Kau cantik nak," puji pria berkacamata yang pastinya suami wanita itu.

"Terima kasih tuan," jawabku merona. Ia mengangguk kemudian tersenyum kearah istrinya sembari menggenggam tangan istrinya erat seolah olah memberi kekuatan kepadanya untuk tetap tegar.

"Mm, Hazela, apakah kau masih bersekolah?" tanya wanita itu lagi, kini dengan gerakan menghapus air mata secara perlahan.

"Tidak nyonya, saya baru saja lulus tahun ini.." jawabku jujur. Sedikit mengernyit saat mengingat Farewell Party yang harusnya berakhir membahagiakan. Ia melongo menatapku, dan seakan mengerti akan perasaanku yang sebenarnya, ia pun menyerah untuk mengetahui lebih lanjut.

"Aku mengerti Hazela, kalian boleh pergi dulu.." ia tersenyum ke arahku kemudian menepuk nepuk punggung tanganku dengan lembut sembari melirik Daniel. Ya, ia mengusir kami.

Aku dan Daniel pun beranjak dari tempat kami duduk kemudian berjalan keluar melewati pintu besar yang sekarang tertutup rapat.

"Mereka aneh sekali" gerutu Daniel saat kamai sudah berada di luar ruangan. Aku mengangguk setuju. Aneh, memang mereka aneh. Hanya aku yang sedari tadi jadi objek pembicaraan mereka, Daniel tidak. Apalagi orang tuaku. Sedari tadi mereka diam seperti tak bernyawa hanya memandang kami dengan sayu dan takut. Aneh, sungguh aneh.

"Kalian mengecewakanku, Octavero.." suara seorang wanita yang kuduga milik wanita kaya itu.

"Maafkan saya nyonya, sungguh.. Maafkan sayaaa" dan kini, suara ibuku. Menangis! Ibuku menangis!

"Ayo," ajak Daniel sembari menggandeng tanganku.

"Tunggu.." aku pun melepaskan gandengannya dan mendekatkan telingaku ke pintu besar itu. Mengingat kami diusir dari sana, pasti mereka tak ingin percakapan ini dindengar kami. Daniel hanya mengerutkan kening melihat tingkahku.

"Maaf katamu?! Kau pikir kata maafmu bisa mengembalikan keadaan ini?! Hah?!" bentak wanita itu. Astaga, apa yang telah dilakukan ibuku hingga membuat wanita itu marah?

"Sudah lah sayang," suami si wanita terdengar berusaha menenangkan.

"Kau menguping?" tanya Daniel bodoh. Jelas jelas semua tindakanku ini mencerminkan aku sedang menguping tapi tetap saja ia bodoh dan masih bertanya. Sontak saja aku melotot kepadanya.

"Maafkan kami nyonya, kami sudah berusaha sekeras mungkin untuk menjaga dan melindungi putri nyonya," ucap sebuah suara yang setiap hari kukenal. Ayahku.

"Bodoh, ayo ikut aku," Daniel menarik tanganku. Aku melotot lagi ke arahnya.

"Jangan dari sini, mereka bisa keluar kapan saja. Ayo ikut aku" tanpa mengelak lagi ia membawaku ke gudang tempat penyimpanan bahan makanan yang berada tepat di belakang ruang tamu itu. Aku sempat heran, bagaimana bisa menguping dari sini, melihat ketebalan temboknya saja pasti tidak mungkin, tapi ternyata Daniel memiliki cara lain. Ia memindahkan kantong kantong beras yang berada di sebelah lemari penyimpanan ke sudut ruangan dan saat kulihat, ada sebuah pintu kecil sebesar pintu keluar masuk anjing.

"Ini terhubung ke ruangan itu, disana ada buffet berisi piala kan?" Daniel tersenyum mengejek. Aku mencibir kemudian duduk persis di depan pintu keluar-masuk anjing yang telah sedikit terbuka itu. Sementara Daniel, ia sudah duduk manis di depanku bersandar pada tembok sambil menutup mata.

"Kami akan membawanya," ucap wanita itu tegas.

"APA?!" seru kedua orang tuaku bersama sama. Aku terkesiap. Membawanya? Membawa siapa?

"Kami akan mengurusnya dengan baik, Octavero.." suara pria itu selalu mencairkan suasana.

"Tapi nyonya, tuan, ia belum berusia 17 tahun, dan ia sedang hamil," ayahku meratap sedih. Tunggu, hamil? Apakah aku yang sedang menjadi 'objek' pembicaraan mereka? Daniel membuka matanya kemudian menatapku lekat.

"Justru karena sedang hamil, Octavero!" pekik wanita jahat itu. Sial! Ia meneriaki ayahku. Kami terkesiap. Daniel mulai tertarik pada pembicaraan ini.

"Saya bisa merawatnya, nyonya. Saya bisa.." ibuku bersuara.

"Aku tahu! Aku tahu.." suara wanita itu melemah. Ia berusaha menurunkan emosinya.

"Kami percaya kalian akan merawatnya dengan baik, tapi kami rasa ini sudah saatnya ia kembali" kurasa pria itu memang pantas dijuluki sebagai 'pendingin suasana'. Daniel menatapku meminta penjelasan. Aku hanya mengangkat bahu.

"Nyonya, kumohon nyonya, maafkan kami.. Maafkan kami nyonya, berikan kami sedikit waktu untuk merawat Hazel dan bayinya untuk menebus kesalahan kami nyonya..  Kumohon nyonya.. Kumohon.." ibuku mulai menangis. Astaga, jadi benar aku yang jadi bahan pembicaraan mereka. Aku pun merasa lemas dan tanpa kusadari, badanku sudah merosot tak berdaya. Untungnya ada Daniel yang dengan sigap menyanggaku. Ia berbisik "Kau tidak papa?" aku pun mengangguk lemah.

"Dengarkan aku Octavero, karena aku hanya akan mengatakan sekali ini saja. Aku merindukannya, aku ingin memeluknya dan menjaganya, sama seperti ibu-ibu lain di dunia ini. Melihat senyumannya setiap hari dan mendengar ia mengatakan 'aku mencintaimu ma,' setiap hari. Memasakkan makanan kesukaannya dan menanyakan 'apakah itu enak?' setiap hari. Tapi apa Octavero? Membelai wajahnya pun aku sudah lupa bagaimana rasanya."

"Aku iri padamu Octavero, setiap hari kalian bisa bercengkerama dengannya, bercerita ini itu hingga bosan namun kalian menikmatinya, kalian bahagia. Aku iri Octavero! Aku ingin itu! Aku ingin ia memanggilku mama, dan berbelanja apa yang ia sukai bersama.. Tapi kau menghancurkannya. Kalian menghancurkan harapan kami!"

"Sebentar lagi ia menjadi ibu, Octavero, dan kalian masih ingin ia bersama kalian dan kalian ingin apa? Dipanggil kakek dan nenek? Kau egois! Kalian egois!"

"Sayang, tenanglah, kita akan membawanya.." si pendingin suasana beraksi. Aku merosot lemah sangat lemah sehingga Daniel sudah memelukku dengan kuat. Air mataku mengalir deras membuat kaosnya basah.

"Tenanglah, mereka bisa mendengarmu.." Daniel mengecup puncak kepalaku. Aku masih menangis, justru kali ini lebih kencang hingga bahuku bergetar hebat. Aku tak bisa mendengar percakapan mereka lagi karena pikiranku sangat kacau, kalut tak tentu arah. Sebenarnya siapakah aku?! Siapa?!!

"Hei tenanglah.. Kau tidak ingin tertangkap bukan?" Daniel mengelus punggungku lembut.

"Ibu!! Huaaa ibuuu, aku, aku siapa buu sebenarnya aku siapaa huaaaa.." aku menangis dengan kencang.

"Hei Hazel, mereka bisa tahu kita disini, tenanglah" Daniel memelukku lebih erat untuk membenamkan wajahku ke dadanya.

"Aku tak peduli!! Huaaaa!! Egois dasar!! Aku siapa hah!! Huaaaa.." aku benci mengakui ini tapi kenapa seolah olah aku adalah anak yang ditelantarkan? Dibuang dan tak diinginkan?!

"Hazela? Kaukah itu?!"

"Oh shit! Kita ketahuan! Ayo pergi!" Daniel pun berdiri sembari mencoba memapahku pergi. Aku tak bisa, kakiku terlalu lemah untuk berjalan dan menerima kenyataan ini.

"Sial! Aku harus menggendongmu lagi!" dengan sigap Daniel membopongku dengan Bridal Style-nya yang tak karuan. Ia mengeluarkan kami dari ruang penyimpanan namun terlambat.

"Daniel, Hazel, kalian.."

***


Sebelumnya maaf jika ada yang typo, namun percayalah aku sudah berusaha membuatnya tidak typo 😁😁. 

Terimakasih sudah membaca,

Love, Shrntch.. 😘😘

Why Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang