Chapter 20

10.4K 612 46
                                    

Rio menarik tangan Valery menuju taman belakang, duduk di bawah pohon akasia, kembali menangkan Valery yang masih menagis. "Dari kapan dia nelfon?" tanya Rio penasaran.

Valery mengangkat kepalanya, menarik napas sedikit berat. "Da-Dari kemaren Yo. Dia selalu misscall. Tiap kali gue angkat panggilan terputus, begitu terus." Valery kembali menutupi kedua telinganya menggelengkan kepala menghilangkan pikiran-pikiran buruk yang berkeliaran di dalam kepalanya.

Rio menggenggam tangan Valery kuat menghentikan Valery menggelengkan kepalanya, melepas tangan Valery dari telinganya setelah itu menatap dalam manik mata Valery. "Terus tadi dia bicara apa di telfon sampai lo ketakutan kaya gini?" tanya Rio lembut.

Valery ragu untuk mengatakan apa yang ia dengar karena takut, tapi apa boleh buat lebih baik ia memberi tahu Rio. "Awalnya hening nggak ada suara sedikitpun. Pas gue bilang hallo, masih nggak ada yang bicara. Gue masih nunggu jawaban tapi tiba-tiba aja ada suara orang ketawa terus teriak ketakutan."

Valery kembali menangis, suara teriakan yang ia dengar masih saja terngiang ditelinganya, ia sangat benci mendengar suara teriakan seperti itu.

Rio menghapus air mata Valery sekilas lalu mengecek ponsel Valery lagi. Rio mencatat nomor yang selalu menghubugi Valery didalam ponselnya, setelah ini ia akan memberitahu Davin dan mencari tahu siapa penelfon yang membuat Valery ketakutan.

"Udah nggak usah nangis lagi. Cengeng banget!" sindir Rio halus dengan senyum lebar agar Valery berhenti menagis.

Valery menghapus air matanya menarik napas dalam lalu memukul lengan Rio. Melihat Valery sudah kembali tenang, Rio menarik tangan valery kembali ke kelas.

***

Dengan langkah setengah terseok, akhirnya Valery sampai di rumah dengan selamat. Sepulang sekolah tadi Valery lagi-lagi pulang bersama Rio, karena Kak Davin ada tambahan pelajaran dan pulang sore.

Untung saja jantungnya masih berada di tempatnya mengingat bagaimana cara Rio membawa motor dengan kecepatan diatas rata-rata, membuat Valery bersyukur masih bisa pulang dengan selamat. Saat Valery memasuki ruang keluarga ia berhenti sebentar, Valery memperhatikan seorang pria yang tengah duduk di sofa dengan tangan memegang koran dan di temani satu cangkir kopi hitam diatas meja masih dengan kepulan asap yang keluar.

Valery tersenyun lebar, dengan cepat Valery berlari menghampiri pria itu dan memeluknya dengan erat. "PAPA! Vale kira Papa nggak pulang-pulang kayak bang Toyib!"

Pria itu membalas pelukan Valery, ia mengelus punggung putrinya yang memeluk erat dirinya hingga sulit bernapas, "Kalo bang Toyib tiga kali puasa tiga kali lebaran nggak pulang. Lah, Papa baru dua bulan nggak pulang kamu langsung bilang Papa kayak bang Toyib, Papa nggak terima!" ujar Papa Valery sambil mencubit hidung putrinya dengan gemas.

Valery meringis, mengelus hidungnya yang memerah lalu berkacak pinggang. "Papa pasti nggak bawa oleh-oleh!"

Faisal -Papa Valery- tersenyum lebar. "Kamu tahu aja kalo Papa nggak bawa oleh-oleh."

"Gitu aja terus pasti alasanya, Papa mendadak pulang jadi, nggak sempet beli oleh-oleh." ujar Valery sambil meniru gaya Papanya berbicara. "Kakek kenapa nggak ikut Papa pulang? Betah banget disana, mending disini sama Vale biar Vale dapet uang tambahan terus." tawa Valery pecah saat mengingat dirinya yang selalu memelas kepada Kakeknya saat ingin meminta uang.

Faisal menggelengkan kepalanya, anaknya yang satu ini belum juga berubah, sifatnya masih seperti anak kecil. "Kakek bilang kamu yang main kesana jangan Kakek terus yang kesini. Oh iya, tadi Kakek nitip bingkisan gitu untuk kamu sama kak Davin."

ValeryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang