Tak ada keraguan bahwa berkasnya di sabotase. Dan perintah tertinggi datang dari ayahnya. Dia akhirnya tahu, Mang Karyo yang dipaksa memberikan informasi kemana dia pergi. Dan tidak sulit menebak apa yang terjadi selanjutnya. Mang karyo yang mencabut berkasnya sedangkan yang memasukkan berkas ke sekolah pertamanya adalah kakak pertamanya, Fier!

Hebat sekali kan konspirasinya?! Dia saja sampai tercengang! Dia seperti sedang ditelanjangi dan dipaksa terjun ke kawah gunung berapi. Ubun-ubunnya sampai seperti mau meledak membuatnya marah pada setiap orang dirumah. Termasuk Mang Karyo.

Walaupun sebenarnya ini bukan kesalahan Mang Karyo sepenuhnya. Mang Karyo mengkhianatinya karena memilih menurut pada perintah tertinggi. Namun tetap saja Rafan kesal.

"Den," Mang karyo membujuk lagi. "Den, tolong mengerti posisi saya waktu itu. Tuan yang ..."

"Udah," Rafan menyela dengan nada yang nyaris lemah. Malas mendengar penjelasan tentang ayahnya yang begitu berkuasa di rumah. Belum lagi mengingat kakaknya yang begitu berkuasa di sekolah. Kepalanya mau meledak memikirkn itu!

Mereka boleh menguasai dunia kalau mereka mau, Rafan tidak akan marah. namun mereka selalu mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dia inginkan. Dan Rafan selalu dipaksa tidak berkutik saat mereka menggunakan kekuasaan mereka.

Mereka selalu bosan mendengar apa yang Rafan mau. Hingga akhirirnya Rafan terpaksa melepaskan setiap keinginannya begitu saja.

Dia sadar benar. Waktu tidak akan bisa diputar kembali. Waktu hanya akan memberikannya satu pilihan. Yaitu maju, membawanya berjalan menyusuri garis yang ditentukan. Dan walaupun Rafan sudah ada di jalan yang diminta ayahnya, dia tetap benci melangkah di jalan itu. Namun sayangnya, lagi-lagi dia tak punya pilihan lain. Satu-satunya pilihan yang dia punya adalah menyusurinya hingga selesai!

Sejak awal dia tak punya keinginan di jalan itu. Dia selalu frustasi melihat jalan di depannya. Tapi perasaan itu belum lama ini hilang. Memang masih ada kekesalan dan kemarahan. Namun tidak sebesar di awal.

Walaupun enggan, namun Rafan mengakui, bahwa ini karena Diya.

---

"Aduduh Bi, pelan-pelan!" teriakan Rafan terdengar sampai lantai bawah. Semua keluarganya yang bersantai menonton TV mendongak ke atas semua. Nyaris tersenyum.

Selepas maghrib, Rafan meminta Bi Ijah untuk memijat kakinya. Di setiap sendinya serasa pegal semua. Bagaimana tidak, dia dihukum lari seharian sampai sore!

"Dia kamu hukum apa?" Fiandra merasa khawatir, masih menatap ke arah kamar Rafan.

Fier tersenyum tipis, lalu menjawab. "Dia terus melawan dan tidak mau diam. Terpaksa aku harus membuatnya sibuk agar dia tidak punya waktu untuk mengganggu acara MOS." kata Fier santai.

Fianer tersenyum tipis. Tak terlalu bersemangat saat adiknya dibuat menderita. Padahal biasanya dia yang akan tertawa paling keras kalau Rafan tertiban sial. Namun kali ini dia seperti tak tertarik. Lebih memilih membaca majalah dengan pikiran entah kemana.

Fiandra tak tahan lagi hanya duduk. Dia bangkit dan berjalan menuju kamar Rafan. Dia tahu persis, membuat sibuk ala Fier pasti benar-benar menguras tenaga bungsunya. Dia masuk ke kamar Rafan tanpa mengetuk.

Anak itu tengkurap sedangkan Bi Ijah sibuk mengurut kakinya. Rafan tahu Fiandra yang masuk. Namun dia diam saja. Masih sibuk merintih merasakan pijatan Bi Ijah yang tanpa belas kasihan.

"Bi, pelan-pelan." Fiandra mengingatkan, karena Rafan terus meringis dari tadi.

"Tapi Nyah, otot-ototnya Den Rafan keras sekali. Kalau tidak ditekan keras-keras tidak akan terasa pijatannya." kata Bi Ijah. Otot Rafan memang sudah liat sejak awal. Dia tak pernah berhenti olah raga.

"Ya sudah, kamu ke bawah saja. Biar saya yang gantikan." ucap Fiandra. kali ini Rafan menoleh. Tapi Fiandra masih menatap Bi Ijah yang langsung mohon diri dan pergi dari kamar. Rafan mau bangkit namun Fiandra melarangnya. Meminta Rafan kembali tengkurap.

Fiandra tahu anak laki-lakinya ini masih marah. Dia duduk di samping kaki Rafan lalu memijat lembut kaki Rafan yang sudah dioles hand body lotion. Memang, tekstur kaki Rafan benar-benar mirip tekstur pemain bola. Keras, liat. Ditekan sedikit Fiandra sudah merasakan kekakuannya.

Otot-ototnya tegang karena stress, dipaksa bekerja lebih keras oleh pemiliknya. Fiandra menekan kaki itu dengan tekanan yang kuat namun tak terlalu. Mengurutnya untuk meredakan ketegangan pada otot itu.

Rafan diam saja. Namun tak meringis seperti tadi, Fiandra tersenyum menyadari Rafan meikmati pijatannya. Selama itu mereka hanya diam tak ada yang bicara.

Fiandra tak mengajak Rafan bicara. Karena topik apapun hanya akan membangkitkan kemarahan Rafan. Fiandra ingin bertanya, Bagaimana hari pertamanya di sekolah yang baru? Kenapa kakinya bisa begini kaku,? Atau apa yang Rafan rsakan sekarang?

Fiandra ingin tahu jawabannya. Tapi dia tahu, dia tak ingin suasana yang begitu bagus ini rusak. Jadi dia diam saja. Hanya tangannya yang bekerja untuk memijat kaki bungsunya.

"Makasih Bun." Pelan, namun Fiandra dapat mendengarnya dengan jelas. Senyumnya mengembang sennag.

"Sama-sama sayang." jawabnya. Lembutnya suara Fiandra, sama seperti lembutnya pijatan Bundanya, membuat mau tak mau Rafan merasakan hangat di hatinya dan tersenyum karena perasaan nyaman ini benar-benar dirasakannya. Membuatnya tenang.

Dari atas, Fiandra melihat sisi pipi Rafan mengembung dan sudur bibirnya tertarik. Dan tak ada yang bisa melukiskan bahagianya Fiandra menyadari putranya tersenyum!

"Sudah tidak marah lagi kan?" tanya Fiandra disela senyumnya.

Rafan menghela nafas. Tentu saja masih. Tapi dia tak pernah bisa marah pada Bundanya. Mau semarah apapun, Fiandra selalu tahu bagaimana memanjakannya.

"Hanya pada Bunda." kata Rafan.

Fiandra tertawa pelan. lalu menghela nafas lega. Dia tetap memijat kaki Rafan hingga putranya ini tertidur pulas karena kelelahan. Fiandra mengelap kaki Rafan dengan washlap air hangat lalu membersihkan sisa body lotion di kaki itu. Lalu menyelimutinya sampai dada.

Rafan mungkin selalu malu jika Fiandra memperlakukannya seperti anak kecil seperti ini. Namun Fiandra begitu menikmatinya.

Sangat.

It (Rafan)Where stories live. Discover now