06/03/16

7.8K 1.4K 58
                                    

Semilir angin pagi menerpa rambutku, menerbangkan helainya ke sana kemari. Kupercepat langkahku menuju kelas, melewati lalu lalang orang tua murid dan anak mereka.

Orang itu belum juga pulang. Akibatnya aku harus menemui Bu Santi sendirian. Mudah-mudahan saja dia mau melonggarkan aturan yang sudah ditetapkan sekolah.

Begitu aku sampai di tujuan—sebuah ruangan bebentuk persegi panjang yang dicat krem kumal—kakiku segera beranjak ke kursi di depan meja Bu Santi.

"Satria? Mana Om kamu?" tanya guru berwajah keriput tersebut. Kacamata hitam bulatnya ia biarkan melekat di ujung hidung, menambah kesan tua yang wanita itu pancarkan.

"Ada urusan, Bu." Bahkan tanpa melihat pun, aku bisa merasakan tatapan tajam belasan ibu-ibu yang masih mengantri di belakangku. Aku yakin mereka mengira aku hendak menyelak antrian mereka.

"Wah ... Ibu nggak bisa ngasih rapot kamu. Kecuali ada yang bersedia dateng sebagai wali kamu."

Sebuah suara memaksaku mengalihkan perhatian dari Bu Santi. Asalnya dari seorang ibu yang tengah duduk di salah satu kursi. Dengan penuh konspirasi, dia berbicara dengan rekan di sampingnya. "Kasian ya anak itu ngambil rapot sendirian. Jangan-jangan yatim piatu lagi?" tuduhnya dengan suara pelan.

"Iya, ya. Kasian, Bu."

Kemudian latar berganti.

Ruangan krem kumal itu memutih, mengecil perlahan. Segelintir perabotan dari kayu mendiami pojok-pojok ruangan. Potongan gabus aneka warna berserakan di lantai keramik. Seorang bocah culun berambut ikal dengan muka tanpa dosa menyodorkan potongan maket kota Jakarta. Satu-satunya karya yang akan dinilai untuk ujian praktek Seni Budaya.

"Aku nggak sengaja, Kak," ujar bocah itu, cengengesan. Gigi ompongnya terpampang dengan jelas.

Sontak pandanganku berubah merah.

"Satria, ini sudah peringatan kedua dari sekolah. Saya mohon kerja samanya." Lagi, ruangan segi empat bercat krem kumal. Tumpukan buku dengan sampul lusuh tertata di atas rak mahoni yang berdebu.

Aku mengedip. Sekali. Dua kali. Lalu aku berada di lorong gelap dengan penerangan seadanya.

"Hahaha rasain! Pake lapor-lapor segala, sih! Makan tuh sampah!"

Cairan hijau lengket nan menjijikan itu mengalir pelan dari ubun-ubunku. Mereka, dengan kemeja putih kusut dan dasi biru tua tanpa bentuk, tertawa sejadi-jadinya. Mengacung-ngacungkan jari mereka ke arah cairan yang masih menempel di kulitku. Denyut di kepalaku semakin keras, seiring dengan bau yang menyergap indera penciumanku.

"Ayo cepet masuk! Dasar anak kurang ajar! Kamu kira kamu di sini senang-senang, hah?!" teriaknya sebelum sebotol Bloody Mary menghantam kepalaku.

Orang itu tertawa puas. Membahana. Jauh lebih kencang dari tawa mereka.

Kepalaku kembali berputar. Rasanya aku jatuh dengan kecepatan tinggi. Panik. Semuanya buram. Hanya ada deretan wajah yang pernah kukenal. Ayah, Ibu, Laras. Wajah mereka muncul bergantian. Impulsku berteriak. Aku harus bisa menggapai mereka.

Namun, belum sempat tanganku mendekat, seekor singa dengan badan ular menghampiriku. Wajah mereka semua hilang seketika. Digantikan dengan hewan aneh itu. Warna hijaunya jelek sekali. Dan ia tak behenti mendesis, menjulurkan lidahnya yang panjang.

Kemudian hewan itu mengaum. Lalu hilang seketika. Menyisakan kabut berwarna hijau. Meninggalkanku dalam kehampaan.

"Kamu kenapa, Sayang? Ibu kan cuma pergi sebentar."

Jantungku berdegup liar. Suara ibuku. Sudah lama sekali aku tidak mendengarnya. Di mana dia? Mengapa dia membiarkanku hidup bersama orang itu?

"Kakak ... Laras minta maaf, ya?" bisik seseorang di belakangku. Aku berbalik. Bocah cengengesan tadi terlihat lebih tua. Ia membawa sebuah lentera kecil. Rambut panjangnya dikepang di sebelah kanan. Iris matanya tak lagi sewarna dengan kopi, melainkan berwarna merah. Menyala. Seperti tetesan darah yang keluar dari kelopak matanya.

Bocah itu tertawa. Tawanya mirip dengan orang itu. Dadanya yang ditaburi pecahan kaca naik turun. Kemudian robek perlahan, disertai dengan keluarnya ratusan belatung gendut berwarna kuning.

"Mati kamu! Mati!"

Lalu ia tertawa semakin keras.

[.]

"Sat, tau jawaban nomor dua sembilan?"

Mataku menatap nanar sekeliling, melewati tiap-tiap siswa berseragam monoton. Tidak ada yang janggal. Tatapan mereka terpaku pada meja masing-masing. Ruangan ini pun masih sama. Membosankan dengan beberapa lembar peta geografis dan sebuah papan tulis besar.

Namun peluh terus mengalir dari keningku. Sekilas kulihat satu tetes jatuh ke meja. Kemudian dua. Lalu semakin banyak, menodai lembar jawaban milikku. Ingin rasanya aku mengamankan lembar itu seandainya kedua tanganku tidak bergetar hebat di laci meja. Bergerak sesuka hati seperti memiliki pikiran sendiri.

Mereka belum mau berdamai denganku.

Sudah sekian lama, mereka masih belum mau berdamai denganku.

"Sat?"

Napasku memendek, sedikit tersengal. Aku kira, dengan kepergian orang itu, mereka akan pergi juga. Nyatanya tidak ada yang berubah. Mereka datang seperti biasa. Dengan senyum manis dan tawa membahana.

"Yee malah ngelamun bocah. Hoi!"

Sontak aku berpaling. Landak gosong itu tidak hanya berteriak di telingaku, namun juga memukul bagian pundak kiriku. Aku memandanginya heran. Setahuku, ujian dadakan Bahasa Indonesia belum berakhir sampai detik ini. Untuk apa repot-repot meneriakiku?

"Kenapa teriak-teriak, Ipul?"

Aku dan landak itu berhenti bertatap-tatapan. Seperti sebagian besar penghuni kelas ini, perhatian kami tertuju pada Bu Rik—sumber suara barusan.

Perlahan kukeluarkan tanganku dari laci. Mereka masih bergetar. Tetapi tidak sekuat tadi.

Dari sudut mataku, aku melihat landak itu menggeleng. "Nggak, Bu. Saya abis liat tuyul."

"Maksud kamu?" tanya Bu Rik, matanya mendelik tajam.

"Ituloh Bu, tuyul cinta. Masa Ibu nggak liat?"

Bu Rik menggelengkan kepalanya, gemas. Kudengar beberapa penghuni kelas tertawa tertahan. Sedangkan aku hanya diam, memandangi tulisan di ujung kiri papan tulis: Jumat, 6 Maret 2016.

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang