04/03/16

8.6K 1.6K 215
                                    

"Kak, kenapa sih burung bisa terbang aku nggak?"

Aku balik menatap perempuan di hadapanku. Tubuhnya yang jauh lebih pendek membuatku terpaksa menunduk.

"Karena dia punya sayap," jawabku malas. Memang dia tidak lihat kalau aku sudah rapi begini? Bahkan pengaman lutut pun sudah kupasang dengan baik.

"Terus kenapa aku nggak punya sayap?" tanyanya, semakin membuatku kesal. Laras memang tidak pernah tahu kondisi. Ketika aku sedang terburu-buru begini dia malah bertanya aneh-aneh. Pertanyaannya bodoh pula.

"Ya karena kamu bukan burung. Masa gitu aja nggak ngerti. Udah, ah. Aku mau ke lapangan."

Kakiku berderap cepat ke arah pintu depan. Tak kugubris suara langkah kaki Laras yang membuntutiku dari belakang. Aku tahu anak itu masih ingin bertanya tentang sayap dan segala tetekbengeknya. Sayang, aku sama sekali tidak berminat untuk meladeni.

Punya adik memang menyebalkan. Setiap hari aku harus beradu mulut atau berebut barang dengan dia. Kalau tidak, dia akan berlomba-lomba mencari perhatian ibu dengan segala ulah yang dibuatnya. Terkadang dia sampai mencorat-coret buku catatan yang sudah kubuat dengan rapi, membuatku kesal setengah mati.

Namun yang paling menyebalkan dari punya adik bukan itu. Yang paling menyebalkan adalah, ibuku seringkali lebih membela Laras—adikku—dibanding aku. Walaupun anak itu yang salah, pasti ibu akan tetap memarahiku. Hanya karena aku kakak, aku selalu diminta mengalah.

"Hati-hati, Kak!" Kudengar Laras berteriak dari arah pintu.

Aku berbalik sekilas. Menyipitkan mata ke arah rumah bergaya kuno yang diterpa teriknya mentari. Terakhir kulihat jam, jarum panjang sudah menunjuk ke angka sebelas. Artinya lima menit lagi latihan dimulai.

Tentu saja aku tidak akan datang telat dengan sukarela. Tidak saat hukuman bagi yang telat adalah sprint keliling lapangan tiga kali.

"Iya-iya bawel," jawabku sebelum berlari di sepanjang jalanan beraspal.

[.]

Pukul tujuh kurang dua puluh menit. Itulah yang pertama kali menyapa mataku pagi ini. Mata, bukan telinga. Yang pertama menyapa telinga jelas teriakan Tante Sarah yang bunyinya sebelas dua belas dengan tikus terjepit.

Mau tidak mau aku bangun dan turun dari kasur. Dengan malas pandanganku menyapu ruangan dengan perabotan seadanya. Kemudian jatuh pada sebuah kardus berwarna cokelat di pojok kiri kamar, yang aku tahu berisi semua buku pelajaranku. Kardus itu belum kusentuh semenjak aku pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini. Ya, buku pelajaran memang tidak pernah menarik bagiku. Terutama Matematika. Menurutku, pelajaran Matematika tidak ada intinya. Masalah itu diselesaikan, bukan malah sengaja dibuat. Untuk apa membuat masalah ketika hidup sudah bermasalah?

"Satria ayo turun! Dikit lagi kamu masuk!" teriak Tante Sarah. Suaranya semakin lama semakin dekat. Aku yakin ia akan menerobos pintu kamar beberapa detik lagi.

"Iya sebentar!" balasku, berteriak tidak kalah kencangnya.

Untungnya, kamar yang diberikan Tante Sarah menyediakan kamar mandi. Jadi aku tidak perlu menghadapi dia sebelum akhirnya pintu kamar mandi kututup.

"Buruan, Sat. Kamu pasti telat kalo berangkat jam segini," ucap Tante Sarah di depan pintu kamar mandi.

Aku berpura-pura tidak mendengar. Air dari shower kusetel semakin kencang, berharap suara Tante Sarah akan tenggelam di balik guyuran air sedingin es.

"Tante tungguin di bawah, ya. Nanti sarapannya di jalan aja." Aku menggerutu dalam hati. Suara Tante Sarah masih terdengar nyaring di telingaku. Mengalahkan deru air yang menghantam tubuhku.

"Nggak usah sekolah juga nggak apa-apa, kok." bisikku lirih, entah kepada siapa.

[.]

Sepi. Tiga puluh pasang mata menatapku curiga. Terlihat menimbang-nimbang apakah aku layak berada di sini atau tidak.

Aku berdeham. Tatapan tidak bersahabat mereka membuatku merasa seperti terdakwa yang siap dijebloskan ke penjara kapan sapa. "Nama saya Satria dari SMAN 5 Bandung. Panggil aja Satria."

"Nama panjangnya?" tanya wanita berseragam batik di sampingku.

"Satria baja hitam, Bu!" timpal salah satu penghuni kelas 11 IPS 2.

Sementara yang lain riuh tertawa, aku melemparkan tatapanku ke sekeliling ruangan. Tidak ada yang menarik. Hanya ruangan yang dipenuhi dengan meja-meja putih kotor dan beberapa peta geografis di dindingnya.

Barisan murid berseragam putih abu-abu di depanku juga tidak kalah membosankan. Mereka masih menertawakan lelucon yang entah di mana lucunya itu. Satria baja hitam. Seperti lelucon anak TK saja.

"Hus, udah-udah. Kamu silakan duduk, Sat," ucap wanita tadi. Kalau tidak salah dia bilang namanya Rika. Murid di depanku barusan juga memanggilnya Bu Rik. Mirip dengan nama penyakit kulit yang dijadikan panggilanku di Bandung dulu.

Aku berjalan menuju bangku kosong terdekat. Bangku itu terletak di samping laki-laki berkulit gelap dengan rambut jabrik. Kalau dilihat-lihat, laki-laki itu mirip landak gosong. "Oi, Sat. Nama gue Ipul," sapa si landak gosong begitu aku duduk.

"Gue Satria," jawabku.

"Iya tau. Kan gue di sini juga tadi. Satria baja hitam, kan?" tanyanya. Aku tidak tahu apakah senyum di wajahnya tulus atau mengejek. Lain dengan senyum orang itu, aku sulit membedakan senyum orang yang tidak dikenal. Tapi sepertinya Ipul tersenyum mengejek. Seperti kebanyakan senyum yang diberikan kepadaku.

"Satria aja."

Laki-laki itu menggumam pelan. "Oke, Satria Aja."

Aku menguap sebagai balasan. Semalam mataku tidak mau tertutup. Bayangan akan Laras terus terputar dalam benakku. Adikku dengan rambut panjang ikal itu terlihat sehat sekali.

Tapi dia masih sebawel dulu. Tubuhnya lebih kurus namun masih setinggi saat terakhir kali aku melihatnya. Tidak banyak yang berubah kecuali fakta bahwa dia memaksaku memanggilnya Rea.

Setelah bertahun-tahun tidak bertemu, Laras malah berpura-pura menjadi orang lain. Pasti karena dia masih marah.

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang