05/03/16

14.4K 2.3K 625
                                    

Bennedict Cumberbatch lagi lari-lari di jalanan ketika suara teriakan Papa nyaris menghancurkan gendang telingaku. Sambil menggerutu pelan, aku menakan tombol pause lalu berjalan ke luar kamarku.

"REAA!" Papa lagi-lagi berteriak.

"INI LAGI DI JALAN!"

"BURUAN!"

Aku mempercepat langkahku. Jangan tanya kenapa Papa bisa jadi bawel seperti tadi. Aku juga bingung. Harusnya kan ibu-ibu yang bawel. Yah, bukannya Mama tidak bawel, sih. Tapi kan kalau Mama yang bawel itu normal. Kalau Papa, yah...

"Rea!"

"Apa, Pa?" tanyaku begitu aku sampai di meja makan, tempat Papa sedang duduk di hadapan papan-catur-yang-sama-sekali-tidak-normal.

"Liat pion catur Papa, enggak?" tanyanya.

Aku memutar kedua bola mataku. "Itu apaan?" tanyaku sambil menunjuk pion-pion yang berada di atas papan.

"Aih! Bukan yang itu! Yang kuda, Rea!"

"Ya mana aku tahu," balasku sambil melemparkan diriku ke kursi sebelah Papa.

Bahu Papa sedikit menurun. Raut wajahnya sedih. "Yah, kalau gini, Papa enggak bisa main sama temen Papa dong."

Aku menghela napas. Rasanya aku ingin berkata, "Mau semua pionnya lengkap juga Papa enggak bakalan bisa main di atas papan catur itu!"

Ingat kan tadi aku bilang papan catur Papa sama sekali tidak normal? Mau tahu apa? Papan catur itu Papa cat semuanya jadi warna putih. Dan pionnya dicat hitam semua. Katanya sih, biar unik dan berbeda.

Iya sih, unik dan berbeda. Tapi kan jadi tidak bisa dimainkan juga!

"Ya udah, aku ke atas, ya." Aku baru bangkit dari dudukku dan akan berjalan menuju tangga, ketika suara Mama melengking dari dapur.

"REAA!"

Aku punya firasat buruk. Mama dan dapur ada di dalam satu kalimat tidak pernah membawa ketenangan hidup.

Bagaimanapun juga, aku melangkah menuju dapur. Di sana, Mama sedang berdiri di depan meja. Badannya sedikit dimajukan, dan tatapannya terfokus ke sebuah kotak makan di hadapannya.

"Kenapa, Ma?"

"Sini, deh." Mama melambaikan tangannya padaku, isyarat untuk mendekat.

Aku berjalan mendekati Mama. "Apa?"

"Cobain ini deh," kata Mama sambil menyodorkan kotak makan itu ke hadapanku.

Benar kan, firasatku.

"Ini makanan apa?" tanyaku.

"Nasi goreng bumbu caramel," jawab Mama dengan bangga. "Keren, kan? Nyambung lagi! Warnanya jadi cokelat-cokelat gitu."

Informasi aja nih, ya. Aku lagi menahan muntah.

"Enggak ah, Ma," kataku sambil menyodorkan kotak makan itu kembali ke Mama. "Kenyang."

"Ya udah enggak apa-apa," kata Mama sambil menutup kotak makan yang berisi nasi goreng terkutuk. "Tapi Mama minta kamu anterin ini ke rumah Tante Sarah, ya."

"Hah?"

"Iya, kemarin Mama udah janji mau ngasih nasi goreng ke Tante Sarah. Katanya Satria suka nasi goreng."

Aku yakin sekali Tante Sarah lupa berkata, "Satria suka nasi goreng yang normal."

"Oke, Ma!" Aku mengambil kotak makan tadi dari tangan Mama. Bukannya aku mau meracuni Satria atau apa, tapi aku ingin bertemu kakakku. Yah, oke, dia memang bukan kakak kandungku, tapi lumayanlah buat dijadikan kakak-kakakan.

Lagi pula, aku sudah punya rencana.

[.]

"Ini Neng, nasi gorengnya." Abang Nasi Goreng menyerahkan sebungkus nasi goreng kepadaku.

"Makasih, Bang," kataku.

"Sama-sama," balas Abang Nasi Goreng.

Mau tahu kenapa aku bilang Abang Nasi Goreng? Karena namanya memang Nasi Goreng! Awalnya aku tidak percaya, lalu Abang Nasi Goreng menunjukkan akta kelahirannya padaku, dan di situ memang tertulis Nasi Goreng.

Mungkin menjadi Abang Nasi Goreng sudah takdirnya.

Aku penasaran apakah nama orangtuanya Kecap dan Nasi.

Sambil menenteng bungkusan nasi goreng, aku kembali berjalan memasuki komplek perumahanku. Ya, tadi aku tidak langsung ke rumah Tante Sarah. Soalnya kan, sudah dibilang, aku tidak mau jadi nenek sihir jahat yang memberikan racun kepada Satria (selain karena Satria tidak cocok jadi Putri Salju, aku kan juga tidak mau menciumnya!). Jadi, aku memutuskan untuk membeli nasi goreng di Abang Nasi Goreng, dan membuang jauh-jauh nasi goreng caramel buatan Mama.

Sesampainya di depan rumah Tante Sarah, aku mengetuk pintunya. Aku ragu ada orang di dalam rumah, soalnya mobil Tante Sarah tidak ada di jalan masuk. Tapi setelah beberapa kali mengetuk pintu, pintu akhirnya dibuka juga oleh Satria.

Tampak jelas kalau kakakku itu baru bangun tidur. Rambut dan bajunya acak-acakan. Ia juga menguap lebar sekali ketika membuka pintu. Aku yakin, aku pasti sudah tersedot dan nyangkut di mulutnya kalau saja Satria tidak segera menutup mulut.

Untungnya, Satria menutup mulut dan menatapku dengan terkejut. "Laras?"

"Rea," koreksiku. "Ini nasi goreng," kataku sambil menyerahkan sebungkus nasi goreng kepada Satria.

Satria tersenyum tipis, nyaris tidak terlihat. "Kamu masih inget kakak suka nasi goreng," katanya pelan.

O...ke?

"Ayo masuk," kata Satria. Ia membalikkan tubuhnya lalu melangkah masuk. Aku mengikuti di belakangnya.

"Tante Sarah ke mana, Kak?" tanyaku.

"Pergi," jawabnya.

Pergi? Di luar kan, udah agak mendung. Semoga aja Tante Sarah enggak berniat buat mencangkul tanah yang dalam. Terus menanam jagung di kebun kita. Nanti dia kehujanan.

Aku menghempaskan diriku di atas sofa. Satria sepertinya ke dapur. Beberapa saat kemudian, dia keluar dari dapur dengan sepiring nasi goreng di tangannya.

Ia duduk di sampingku sambil berkata, "Mau?"

Aku menggeleng.

Satria pun mulai memakan nasi gorengnya dalam diam. Dia tidak berkata apa-apa lagi.

Karena bosan dengan suasana yang sepi ini, aku akhirnya angkat bicara. "Kak tau enggak, itu nasi gorengnya aku beli di Abang Nasi Goreng."

Satria tidak mengatakan apa-apa.

"Tadinya aku mau ngasih nasi goreng buatan Mama, tapi nasi gorengnya dijamin enggak enak! Jadi nasi goreng Mama aku buang ke got. Tapi sekarang aku agak nyesel, sih. Di got kan banyak tikusnya. Kalau tikusnya pada makan nasi goreng Mama gimana? Nanti populasi tikus di dunia ini bisa nurun, dong? Kalau populasi tikus menurun, nanti yang main Tom and Jerry siapa?"

Satria masih tidak mengatakan apa-apa.

"Kakak enggak mau diganggu, ya?" tanyaku setelah beberapa saat.

Satria tidak menjawab.

"Ya udah, aku pulang ya. Dah."

Aku bangkit dari dudukku dan berjalan menuju pintu keluar. Sebelum aku melangkah keluar, sepertinya aku mendengar Satria mengatakan sesuatu. Dia berkata, "Makasih buat nasi gorengnya, Ras."[]

PergiUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum