Aku tidak boleh egois. Aku harus mendukung apapun yang dikerjakan oleh suamiku jika itu adalah hal yang baik.

"Kamu nggak papa kan aku tinggal? Cuma 2 hari, jumat siang aku berangkat. InsyaAllah minggu pagi udah ada disini. Nanti aku minta tolong mama atau ibu buat jagain kamu. Nggak papa kan, Ai?" tanya Tiar lagi.

"Nggak apa-apa, Mas. Kira bisa jaga diri kok. Yang penting mas fokus ke pekerjaan." jawabku dengan senyum terbaikku. Aku tidak ingin Tiar terus mengkhawatirkan kehamilanku dan menganggu pekerjaannya nanti.

"Maaf ya, Ai. Aku nggak bisa lihat kamu pakai toga. Padahal dari dulu aku pingin lihat kamu pakai toga. Eh malah aku ada kerjaan di luar kota. Andai aja Farel bisa menggantikanku, tapi sayangnya dia juga harus jaga istrinya di rumah sakit. Sebentar lagi bakal lahiran, takutnya nanti dia nggak bisa dampingi istrinya. Sekali lagi maaf ya..." ucapnya sambil mengecup telapak tanganku berkali-kali. Aku tertawa geli.

"Ish geli ah, Mas. Iya iya aku maafin. Tapi pulangnya harus bawa oleh-oleh ya." Masih dengan kekehan kecilku.

"Berangkat aja belum udah dimintain oleh-oleh. Kamu ini, Ai..." Tiar menggelengkan kepalanya. Selalu begitu jika aku berbicara aneh atau bertingkah laku kekanakan.

Tiar beralih ke lemari baju. Mengambil kaos putih dan celana jins panjang.

"Ai, jalan-jalan yuk. Aku ada tempat bagus, baru dikasih tau sama salah satu karyawan tadi. Aku jamin kamu bakal suka." Tidak biasanya Tiar mengajakku pergi saat siang hari.

"Kemana, Mas? Jauh nggak?" tanyaku penasaran.

"Lumayan sih. Nanti kita sholat ashar di jalan aja. Kamu bawa mukena ya sama sarung buat aku. Aku siapin mobil dulu." Lanjutnya melangkah keluar.

Aku pun menuruti perkataan Tiar. Mengambil mukena dan sarung. Ku masukkan ke dalam tas kecil yang sudah menemaniku sejak SMA.

Tiar sudah membunyikan klakson, tanda ia sudah siap. Aku segera mengunci pintu kamar dan memastikan bahwa semuanya aman. Tiar menungguku di teras rumah, dan segera mengunci pintu rumah setelah aku masuk ke mobil.

"Kamu tidur aja dulu, mungkin perjalanannya 2-3 jam. Kalau udah ashar aku bangunin deh." Aku pun menurutinya-lagi.

***

Entah sudah berapa lama aku terpejam. Yang aku tahu, sekarang mobil sudah berhenti. Tepat di depan masjid. Aku menengok ke arah Tiar, ia sedang melamun sambil memandangiku. Karena belum sadar jika aku juga memandanginya, akupun terkekeh.

"Sadar atuh, Mas. Udah adzan itu lho, kamu malah melamun. Turun yuk, nanti malah masbuk gimana coba." ucapku sambil turun dari mobil.

Selang beberapa detik terdengar bunyi pintu ditutup juga. Tangannya sudah bertengger di bahuku.

"Aku sedang terpesona dengan bidadariku yang satu ini. Wajahnya selalu membuatku lupa dunia." pipiku merona hanya karena ucapannya itu.

"Astaghfirullah Mas...mas...kamu itu bisa aja. Tapi jangan sampai lupa sama kewajiban dong. Udah adzan bukannya bangunin aku buat sholat malah ngeliatin wajahku kayak gitu. Ckck" walau tak urung aku tersenyum juga.

"Astaghfirullah iyaya, Ai. Aku bahkan nggak dengar adzan, eh bohong deng. Tadi aku dengar, tapi waktu mau bangunin kamu aku malah terpesona sama kamu. Ck pesona kamu itu nggak hilang hilang ya."

"Aish mas Tiar apaan sih. Udah sana ah, buruan wudhu. Aku juga mau wudhu dulu. Ini sarungnya." ucapku salting.

"Aduhduh istriku bisa salting juga ya.. yaudah deh aku wudhu dulu." Tak lupa ia mencium keningku.

Aku pun segera mengambil wudhu juga. Shaf perempuan masjid ini lumayan penuh, aku menempatkan diri dibagian kanan dekat tembok. Iqamah mulai berkumandang, kami pun bersiap menunaikan sholat ashar.

Past & FutureWhere stories live. Discover now