Tidak Enaknya Pak Harto bagi Beringin dan Pak Ical

Start from the beginning
                                    

Tidak sia-sia, di papan klasmen akhir 'liga pemilu legislatif 2004', Golkar berada di puncak posisi. Beringin pada papan klasmen perolehan suara Pileg 2004, ada di posisi pertama dengan raihan 24.480.757 suara atau 21,58 persen dari totak suara sah nasional. Tentu orang yang paling sumringah adalah Bang Akbar. Bagaimana tidak, dibawah komandonya, beringin tumbuh rimbun, hingga berbuah suara pada pesta demokrasi.

Mungkin dalam benak Bang Akbar, selangkah lagi ia bisa menuju Istana. Sebagai partai jawara, beringin sudah punya modal besar menyongsong pesta sebenarnya, pemilihan presiden. Dengan percaya diri pula, konvensi di gelar. Berbagai tokoh mendaftar, diantaranya Pak Wiranto, mendiang Nurcholis Madjid atau Cak Nur, Pak Prabowo Subianto, Pak Aburizal Bakrie, Pak Jusuf Kalla dan tentu Bang Akbar sendiri.

Konvensi ini, dipercaya beringin, bisa menjadi cara mendapatkan capres mumpuni yang bisa diandalkan di gelanggang Pilpres nanti. Satu persatu, peserta berguguran. Beberapa diantaranya mengundurkan diri. Salah satu yang mengundurkan diri, adalah Pak Jusuf Kalla yang memutuskan menyebrang ke kubu Pak SBY. Kelak ia menjadi cawapresnya Pak SBY.

Persaingan konvensi pun tinggal menyisakan Pak Wiranto dan Bang Akbar. Tapi lewat drama adu suara, tak terduga Pak Wiranto bisa mengalahkan Bang Akbar yang notabene adalah nakhoda beringin. Jadilah Pak Wiranto, sebagai calon presidennya beringin. Sementara Bang Akbar, tersenyum muram, tak menyangka ia kalah kala ia berstatus sebagai juru mudi beringin.

Majulah Pak Wiranto ke gelanggang Pilpres dengan menggandeng Pak Solahuddin Wahid, adik kandung Kyai Gus Dur, almarhum. Lawan Pak Wiranto-Solahuddin, adalah Pak SBY yang berduet dengan Pak Jusuf Kalla, lalu Pak Amien Rais yang berpasangan dengan Pak Siswono Yudhohusodo, berikutnya Ibu Mega yang mengandeng Kyai Hasyim Muzadi, dan terakhir duet Pak Hamzah Haz dan Pak Agum Gumelar.

Pemilihan presiden langsung pertama kali itu pun, berlangsung dua putaran. Di putaran pertama beberapa jagoan partai tersingkir, salah satunya adalah pasangan Pak Wiranto-Solahuddin. Sementara yang melenggang ke putaran dua, adalah duet Pak SBY-Jusuf Kalla, melawan Ibu Mega-Kyai Hasyim. Sejarah mencatatkan, Pak SBY-Jusuf Kalla, jadi Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih secara langsung.

Golkar pun setelah itu, ganti juru mudi. Pak Kalla, yang sudah menjadi Wakil Presiden, terpilih sebagai nakhoda, menggantikan Bang Akbar Tandjung. Jadilah beringin dibawah kendali Pak Kalla. Golkar pun kemudian masuk koalisi pendukung pemerintah. Sampai tibanya pemilu 2009. Di pesta demokrasi 2009, Golkar mesti menelan pil pahit. Raihan suaranya jeblok, hanya meraup 15.037.757 suara atau 14,5 persen. posisinya pun melorot ke posisi dua, di bawah Demokrat, partainya Pak SBY yang sukses menaikan suaranya berlipat-lipat dari 7 persenan menjadi 20 persenan.

Dengan prestasi politik yang melorot, beringin maju gelanggang Pilpres. Jagoan yang diusung adalah duet Pak Jusuf Kalla dan Pak Wiranto.  Lawannya, adalah Pak SBY, mantan bos Pak Kalla, yang kini berpasangan dengan Pak Boediono.  Pesaing lainnya, Ibu Mega yang kembali maju berpasangan dengan Pak Prabowo. Hasilnya, Pak SBY-Pak Boed, keluar sebagai jawara Pilpres. Sementara Pak Kalla dan Ibu Mega, kembali mesti merasakan pil pahit, kalah telak dalam ajang Pilpres.

Usai pesta, juru mudi Golkar kembali berganti. Pak Aburizal Bakrie atau Pak Ical, menjadi nakhoda baru beringin, setelah terpilih dalam kongres partai di Pekanbaru, beberapa tahun lalu. Setelah terpilih, Pak Ical langsung tancap gas. Bahkan kemudian, ia ditasbihkan sebagai calon presidennya beringin dalam sebuah ajang Rapimnas. Padahal pesta demokrasi saat ini masih jauh. Sampai kemudian tiba, detik-detik menjelang pemilihan legislatif 2014. Partai Golkar, menjadi salah satu kontestannya dari 12 partai yang dinyatakan lolos oleh Komisi Pemilihan Umum, untuk ikut pemilu.

Pada 26 Maret 2014,  Charta Politika, sebuah lembaga riset politik yang dikomandani Mas Yunarto Wijaya, mengeluarkan hasil sigi politiknya. Salah satu yang diuji oleh lembaganya Mas Yunarto itu, adalah tentang alasan masyarakat memilih partai. Untuk Partai Golkar, alasan masyarakat memilih beringin, karena partai tersebut dianggap mewakili semangat Orde Baru atau semangatnya Pak Harto. Yang menyatakan seperti itu, sebanyak 32,8 persen. sementara yang memilih karena tertarik figur Pak Ical, hanya 18,6 persen.

Dalam kampanye pun, Pak Ical, selalu menjual kejayaan Golkar di era Pak Harto. Keberhasilan pembangunan di era Pak Harto selalu didengung-dengungkan Pak Ical beserta tim horenya di setiap arena kampanye. Kalimat Piye Kabare, Enak to Jamanku, seakan jadi mantra baru beringin menarik minat pemilih.

Hasilnya, bagaimana? Ternyata enaknya jaman Pak Harto, tidak enak bagi Golkar. Sebab hasil hitung cepat yang dilansir beberapa lembaga surve sesaat setelah pemungutan suara dilangsungkan, 9 April kemarin, suara beringin tak seenak jamannya Pak Harto. Partai Golkar menurut hasil hitung cepat, hanya mampu mendulang 14 persenan suara. Jauh dari apa yang berhasil di dulang pada pemilu 2004. Suara beringin masih kalah jauh oleh suaranya banteng moncong putih yang berhasil meraup 19 persenan suara. Banteng moncong putih itupun, bertengger di posisi puncak klasmen perolehan suara. Di bawah Golkar, adalah Partai Gerindra. Partai besutan Pak Prabowo itu, menurut hasil hitung cepat, meraih 12 persenan suara.

Tapi beringin berhasil 'mencundangi' Partai Demokrat,yang raihan suaranya melorot jauh dari 20 persenan suara menjadi hanya 9 persenan suara saja. Ya, setidaknya beringin bisa membalas kekalahannya pada pemilu 2009 lalu. Namun dengan raihan 14 persenan suara, posisi capres Pak Ical menjadi tidak enak. Dia mesti kerja keras mencari kawan koalisi, agar syarat pencalonan sebesar 25 persen suara atau 20 persen raihan kursi bisa dipenuhi. Belum lagi, Pak Ical mesti menghadapi gugatan di internalnya yang mulai mempertanyakan nilai jual pencapresnnya. Dalam berbagai hasil survei capres, elektabilitas Pak Ical memang tak kunjung kinclong. Ia masih kalah oleh elektabilitasnya Mas Jokowi dan Pak Prabowo. Untuk urusan elektabilitas Pak Ical,  yang jadi jawara adalah Mas Jokowi, capresnya PDI-P.

Jadi, enaknya Pak Harto, enggak enak bagi Pak Ical, juga bagi beringin. Mau apalagi, itu yang terjadi. Mungkin Pak Harto akan berkata, piye kabare, tidak enak kan menjual namaku......

#Dimuat di Indonesiana.tempo.co, 2014

Bukan Catatan Pinggir Goenawan MohamadWhere stories live. Discover now