Part 8

42K 1.5K 90
                                    


deleted

***

Kepalaku masih sedikit berdenyut memikirkan kelakuan Gina, juga Abay yang sama sekali belum menghubungiku. Aku mulai membayangkan hal yang tidak-tidak. Kegiatan di bangsal membuatku sedikit melupakan masalah itu. Ini adalah jadwal siang terakhirku sebelum aku memasuki masa cuti untuk pernikahan. 3 hari selanjutnya aku mendapat jadwal pagi. Aku bersiap pulang tepat pukul 9 malam. Oka yang bertugas menjemputku malam ini, dan ketika aku meneleponnya ia malah baru bangun karena ketiduran. Dasar.

Aku baru saja keluar dari bangsal saat melihat sosok itu tersenyum menyapaku. Dito. Salah satu putra sahabatnya ternyata dirawat di bangsalku. Kami tadi hanya saling menyapa sekadarnya saat berada di bangsal. Tapi jam besuk sudah berakhir sejak tadi, kenapa dia masih di sini?

Akhirnya aku mengiyakan ajakannya untuk sekedar ngopi di kafetaria rumah sakit sembari menunggu jemputan Oka.

"Kamu pasti betah banget ya di bangsal anak?" ujarnya sambil menyesap kopi.

Aku mengangguk sambil tersenyum,"seru sih, lucu-lucu mereka."

"Jadi inget dulu, kita punya rencana pengen punya anak banyak ya kalau nikah?"

Aku hanya tersenyum, hatiku kembali menghangat mengingat masa-masa pacaran kami. Kami memang sama-sama penyuka anak-anak, terlebih Dito yang memang anak tunggal.

"Planning itu masih mau dijalankan sama calon suami kamu?"

"Hah? Eh? Kami belum pernah ngomongin itu sih, Mas." Aku nyengir. Gimana mau ngomongin anak, ngobrol aja jarang.

"Tapi kamu masih pengen punya anak banyak, kan?"

"Yaa... iya sih, in syaa Allah."

"Aamiin, aku ikut mendoakan."ucapnya tulus. Ya Allah, lelaki sebaik ini, gimana nggak suami-able? Ih! Pengen gigit! Ups! Fika ngaco!

"Aamin. Mas Dito sendiri gimana?"

"Mm...gimana?"

"Istrinya sudah hamil?"tanyaku ragu, takut membuatnya tersinggung, tapi aku juga penasaran.

Raut wajah Dito berubah seketika, ups! Kayaknya aku salah tanya deh. Ia menggeleng lemah dengan senyum dipaksakan.

"Eh, ehm sorry."

"Nggak apa-apa," Ia mencoba tetap tersenyum memaklumi kelancangan mulutku.

"Aku doain deh, semoga cepet 'isi'. Tetep usaha, Mas. Semangat!" ujarku berusaha ceria dan menyemangatinya. Bagaimana mungkin orang yang begitu penyuka anak kecil justru belum dikaruniai anak sampai sekarang? Jika itu aku, pasti udah belingsatan banget. Aku berdoa tulus agar ia dan juga istrinya cepat mendapat momongan.

"Ehm, kayaknya doa kamu sia-sia, kecuali aku nikah sama orang lain yang mau jadi ibu."

Aku menoleh cepat," Maksudnya?"

Dito seperti tersadar kalau ia tengah keceplosan, ia tampak gugup namun kemudian kembali menguasai dirinya agar tetap terlihat tenang.

"Nggak apa-apa."

Aku terdiam, mungkin tak seharusnya aku mengulik kehidupan pribadinya, meskipun sejujurnya aku sangat sangat penasaran.

"Kami akan bercerai,"ujarnya setelah cukup lama kami terdiam. Aku menatapnya kaget sementara ia menatapku dengan sorot mata tenang.

"Dia nggak mau punya anak karena takut merusak bentuk badannya, dan dia menuntut cerai karena aku masih membujuknya untuk mempunyai anak. Hubungan kami tak pernah baik-baik saja. Kupikir anak bisa mengukuhkan pernikahan kami yang sama sekali terjalin bukan karena cinta," Dito mengusap wajahnya dengan satu telapak tangannya. Aku, tak tahu harus komentar apa. Astaga! Mereka bahkan belum genap 2 tahun menikah.

"Lucu ya,"Dito kembali melanjutkan dengan senyum getirnya,"Tadinya aku ingin kembali mengejarmu setelah kami bercerai, ternyata malah kamu mau nikah."

Jantungku rasanya melorot seketika, ada yang bergejolak di perutku, dan dadaku mendadak sesak. Allah...

"Tinggal hitungan hari lagi,"lanjutnya.

Ia menoleh lagi padaku, menatapku dengan mata yang selalu kusukai.

"Mungkin, kita memang nggak jodoh ya, Fik?"

Aku memaksakan senyumku meskipun entah mengapa rasa nyeri itu tetap ada di dadaku. Sesak. Cintaku...

"Terlambat banget, ya? Harusnya dulu aku mempertahankan hubungan kita," Suaranya melemah, matanya menerawang.

Mendadak saja aku ikut menerawang, ada yang aneh di hatiku. Seharusnya... seandainya... lalu... bisakah?

***

tbc


Cintaku itu Kamu, Halalku [END]Where stories live. Discover now