Part 5

44.7K 1.5K 103
                                    

*deleted

***

Jam 14.15, aku dan Dini berjalan beriringan keluar bangsal, sambil membahas beberapa pasien baru yang cukup menarik perhatian kami. Ada saja tingkah pasien yang kadang membuat kami sebal atau mengulum senyum, tapi itu semua bisa jadi menarik kalau aku sudah membahasnya dengan Dini. Langkahku terhenti di depan IGD, kulihat sosok lelaki yang sejak hari itu memenuhi otakku dengan tingkah-tingkahnya yang tak terduga. Abay. Tepat saat aku menarik lengan Dini untuk mengajaknya keluar lewat pintu lain, Abay menoleh dan mata kami bertemu, membuatku mengurungkan niat, udah terlanjur ketangkap basah. Ia tersenyum lembut ke arahku, membuatku belingsatan sendiri, matilah aku. Ada Dini pula. Aku kan belum cerita sama Dini. Aku tetap mengikuti langkah Dini yang tetap cuek melenggang tidak menyadari kehadiran Abay dengan hati was-was.

"Gue mau ketemu Fanny dulu ya," pamit Dini malah berbelok ke ruang perawat IGD, menemui Fanny, teman sejawat kami yang bertugas di ruang IGD. Meninggalkanku yang kini berdiri tak jauh dari tempat Abay.

Abay berjalan mendekat ke arahku.

"Hai," Sapaku basa-basi," Ngapain disini?"

"Ada saksi yang terluka," jawabnya singkat.

"Ooh,"

Duh! Kok aku jadi salah tingkah gini, ya? Apalagi kalau ingat tanggal ditentukannya keluarga Abay bakal datang kerumah untuk melamarku secara resmi. Dan hari ini kami harus dipertemukan begini? Aku nggak siap.

"Bukannya harusnya kamu jaga malam?"

"Hehehe, tukeran sama temen."

Abay tersenyum maklum, lagian dia inget aja kemarin aku bilang hari ini dapat jatah jaga malam. Kami terdiam lagi, aku juga sedang nggak mood ngomong. Aku tergagap saat melihat Dini sudah keluar dari ruang perawat, padahal baru saja aku berniat menyusulnya. Dini memicingkan mata saat melihatku berdekatan dengan Abay. Ia berjalan mendekat ke arah kami.

"Eh? Kok cepet, Din?"

"Fanny udah pulang, di dalem juga lagi pada sibuk." jawabnya, tapi jelas-jelas tatapan matanya menatap Abay dengan penuh selidik.

"Oh yaudah, kita pulang aja," jawabku cepat kemudian menyeret Dini anpa berniat mengenalkan mereka," Duluan ya, Bay, Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Dini tak berkomentar apa-apa, tapi begitu sampai di lobby, ia menghentakkan tanganku yang kugunakan untuk sedikit memaksanya pergi dari ruang IGD.

"Tadi siapa?" tanyanya curiga.

"Abay," jawabku cuek, masih berjalan, Dini menjajari langkahku.

"Namanya Abay, jabatannya?"

"Dia bukan pejabat."

"Maksudnya di kehidupan lo."

"Anaknya temen Mama," jawabku singkat, kemudian mempercepat langkahku. Dini mengikutiku, bahkan sampai di halte.

"Boleh juga tuh laki," komentarnya singkat saat kami menunggu Bus ditengah panasnya cuaca.

"Masih kecil dia," jawabku. Aku tahu dia sedang membahas Abay.

"Masa sih? Segede gitu?"

"Baru 24."

" Ya elaaah beda berapa tahun ini. Macho gitu," Dini tersenyum geli.

"Genit banget sih, lu!"

"Biarin. Kenapa? Mau?" jawabnya mengolokku. Aku melengos. Nggak tahu aja dia.

Aku berdehem kecil,"Sebenernya dia calon yang diajuin ke gue,"akuku, rasanya memang sudah saatnya aku cerita ke Dini, sebelum dia mencak-mencak tahu yang sebenarnya bukan dari mulutku langsung.

"HAH?!"

"Kalau jadi," sahutku cepat.

"Ini bulan April, ya?"

Aku melotot ke arahnya, jeee dikira ini April mop apa.

"Bukan!" jawabku ketus, "Sorry, baru cerita. Gue juga nggak yakin soalnya,"lanjutku pelan.

"Eh? Seriusan, Fik?"

Aku mengangguk," Anak temennya Mama, gue pikir juga nggak bakal jadi. Apalagi mengingat umurnya yang baru 24. Tapi rencananya keluarganya bakal dateng, ngelamar secara resmi." ujarku tanpa semangat. Kualihkan pandanganku pada lalu lalang kendaraan.

"Lo, masih ragu, ya?" tanya Dini pelan seolah menangkap kegusaranku. Aku menoleh ke arahnya, dan cuma meringis. Ragu? Mungkin.

"Kenapa? Dito? Lo masih cinta sama dia?"tanyanya lagi dengan mimik serius.

"Cinta? Emang cinta itu apaan sih?"tanyaku jahil, mencoba merubah arah pembicaraan yang sedikit sensitif untukku.

"Gue tahunya cincau bukan cinta!" jawabnya kesal karena aku mengalihkan pembicaraan.

"Hahahahaha, ih sewot! Sewot!" aku menjawil-jawil dagunya, Dini lucu kalau lagi sewot gini.

"Ya abis lo gitu deh. Lo masih cinta yang sama laki orang tu, sampai-sampai ngeraguin cowok keren di depan lo itu."

Aku cuma nyengir, bingung juga mau jawab apa. Aku lagi kalut.

"Cengengesan lagi! Ck, emang lo masih cinta beneran ya sama Dito?"

"Hmm... Cinta? Setelah kegagalan 2 kali tanpa hasil? Sorry, tapi definisi cinta gue udah berubah sekarang."

"Gaya banget sih, lagak filsafat aja. Emang sekarang definisi cinta lo itu apa?"

Aku nyengir kuda ke arah Dini,"Cinta?"

"Cintaku itu kamu, halalku!" godaku sambil menjawil dagunya, kemudian beranjak saat Bus yang akan kutumpangi berhenti di depan kami.

"Idih! Najrong!"sengit Dini. Hahahaha.

***

tbc


Cintaku itu Kamu, Halalku [END]Where stories live. Discover now