Pertama

46 5 0
                                    

Orang bilang menjadi yang pertama itu menyenangkan, mereka bilang pertama berarti diistimewakann mereka bilang pertama selalu memiliki makna. Tapi, sepertinya hal itu tidak berlaku bagiku.

Karena pertama bagiku adalah di tuntut untuk selalu perfeksionist, harus bisa melakukan segala hal seorang diri, harus bisa menghasilkan sesuatu dari tangan sendiri.

Aku adalah anak pertama dan aku merasa ibuku selalu menuntut banyak dariku, ibuku jarang sekali membiarkanku bernapas lebih teratur saat aku sedang berada di rumah. Beliau selalu menuntut ini dan itu, memaksaku terlihat sempurna di hadapan ketiga adikku.

Aku lelah... Rasanya aneh sekali, aku bahkan tak memiliki waktu untuk sekedar memegang ponsel bahkan berkumpul dengan teman sesusiaku aku tak punya waktu untuk melakukan hal-hal yang aku sukai. Aku tak bisa merasakan hal semenakjubkan seperti yang gadis seusiaku lakukan.

Aku ingi ibuku mengerti, aku tidak bisa memenuhi semua keinginannya atas diriku. Aku tak bisa selalu menuruti perkataan yang ia ucap, keinginan apa yang ingin dia wujidkam dengan memgatas namakan diriku.

***

"Bu, putrimu ini tidak hidup di zamanmu. Didiklah aku sesuai dengan zamanku." Aku mengucap itu pada ibuku siang itu.

Beliau hanya diam dan memandangku sekilas, lalu bangkit dari kursi yang sedari tadi ia duduki. Perlahan ibuku berjalan mendekat ke arah jendela, lalu berbalik menatapku.

"Nduk, kamu wes ngerti toh. Dulu ibu juga di didik sesuai zaman kakekmu, ibu ndak pernah ngeluh karena menurut ibu, kakekmu itu punya rencana yang baik untuk hidup ibu kedepannya"

Aku tau, beliau akan membahas cara didik kakek, Karena selama ini cara didik beliau terpatok pada cara kakek mendidik beliau dan adik-adiknya.

"Tapi bu..." ibu menyelak ucapanku dengan memasang tatapan sinis seperti biasa, aku paham betul jika pandangan beliau sudah seperti itu maka artinya beliau tidak ingin di bantah.

"Kamu cuma perlu manut saja nduk, ndak perlu banyak protes. Toh apa yang ibu ajarkan selama ini masih dalam kategori baik."

Lihatlah, seperti inilah sifat asli ibu. Beliau tak mau disalahkan, seperti biasa aku hanya diam tapi sejurus kemudian hati dan pikiranku menginterupsi kalau inklah saatnya aku bersuara, menyuarakan apa yang aku inginkan sejak lama.

"Baik bagaima yang ibu maksud?, baik untuk ibu tapi belum tentu baik untukku." Nada suaraku terburu dan napasku terengah, emosi sudah memenuhi ubun-ubunku.

"Kamu ini tau apa tentang hidup, ibu sudah lebih dulu menjalani kehidupan ini dibanding kamu."

Kalimat itu lagi yang keluar, aku yang biasanya akan langsung bergegas diam dan menurut kali ini aku tak ingin menurut lagi. Aku akan memberontak dalam arti menyuarakan apa yang ku ingin, menyuarakan seperti apa kehidupanku selama mengikuti seluruh interupsi beliau.

"Usiaku sudah 20 tahun bu, mengertilah. Aku ingin mengerjakan apa yang biasanya di kerjakan oleh gadis seumuranku. Tolonglah, ada banyak hobi terpendam yang ingin aku tampilkan pada publik. Aku tak bisa mengikuti arus didik ibu terus-menerus.

"Aku nggam bisa melakukan banyak hal seperfeksionist itu, aku nggak bisa terus-terusan mengalah dan mengesampingkan impianku. Aku cuma mau bebas bu, aku ingin punya banyak waktu luang bersama teman seusiaku. Aku tak bisa melulu di sibukan dengan pekerjaan rumah tangga, aku... aku bahkan melupakan cinta, aku bahkan terlalu takut untuk memulai."

Ya... Aku memang sangat takut, aku trauma atas apa yang ayahku lakukan. Atas perselingkuhan dan air mata yang ku lihat, atas insiden percobaan bunuh diri yang dilakukan ibu dulu. Suaraku sedikit melunak, aku bahkan menatap beliau lebih intens lagi.


"Kamu itu harus bisa semuanya, nduk. Kamu itu anak pertama dan akan di jadikan panutan bagi adikmu yang lain. Ibu nggak bisa melakukan banyak hal selain mendidik kamu seperti halnya kakek mendidik ibu dulu. Jangan melupakan cinta hanya karena apa yang terjadi pada ayah dan ibumu, kamu bisa tetap jatuh cinta dengan masih fokus pada kewajibanmu sebagai putri pertama"

Kewajiban apa yang ibu maksud?... kewajiban melakukan tugas seperti seorang pembantu? Iya?. Membereskan rumah tanpa bisa bermain, aku bahkan di tinggal kekasihku terdahulu karena hal itu. Dia bilang aku tak memiliki banyak waktu, dan aku memiliki banyak adik yang hatus ku urus.

Ahh... rasanya percuma bicara pada ibu tentang keinginanku, beliau tak mampu mengerti apa saja yang ku mau, apa yang kuucap pun tak mampu membuat beliau melunak.

Akhirnya seperti yang sudah-sudah, aku memilih mengalah. Pergi berbalik masuk kedalam kamar, memberikan waktu sejenak pada ibu untuk berpikir.

Marriage and WoundWhere stories live. Discover now