Droevig-eyed meisje

66 5 2
                                    

Gadis di hadapanku ini sedari tadi hanya duduk diam, mengetuk-ngetukkan jemarinya pada jendela kaca di sebelahnya, pandangannya lurus menatapi tetes air hujan yang membasahi jendela, menciptakan bulir-bulit air dan mengembun. Ia menarik napas tak kentara berkali-kali, kadang keningnya berkerut-kerut entah apa yang ia pikirkan. Aku menunggunya memalingkan wajah mengahadapku, aku ingin melihat wajah itu apakah mata itu berkaca-kaca atau justru pendaran luka yang akan kudapati disana.

"Kapan aku akan menikah?." Ia mengucapkan itu tanpa suara, aku memperhatikan gerak bibirnya yang sejak tigah puluh menit yang lalu tertutup rapat dan tak menampilkan ekspresi apapun.

Ini ketiga kalinya aku mendapati ia duduk di kursi yang sama, kursi yang terdapat hanya satu kursi di balik rak-rak tinggi yang terdapat cafe ini. Cafe ini memang berkonsep seperti perpustakaan, hanya saja beberapa tempat disini bisa dijadikan tempat menyendiri seperti yang gadis itu lakukan. Awalnya tempat duduk itu adalah tempat favoritku setiap kali berkunjung ke cafe ini hanya untuk bersantai dan tak ingin terganggu oleh lalu lalang pengunjung lain, atau celotehan melengking para remaja yang sekedar iseng tak punya kerjaan berkunjung ke tempat ini.

Sampai pada suatu hari aku menemukannnya, duduk diam dengan pandangan kosong menatap meja di depannya dan jemarinya terkepal erat di atas meja. Lalu aku mengambil alih duduk pada kursi lain yang terdapat celah cukup lebar dari balik rak buku untuk memperhatikannya.

Ia terlihat begitu rapuh pada pertemuan pertama, ia terlihat menyimpan sesuatu dan ingin memuntahkannya tapi tak mampu. Ia duduk disana selama hampir lebih dua jam dan hanya memesan secangkir air mineral hangat yang lama-kelamaan hangatnya menghilang. Tak sedikitpun air itu ia minum, karena yang kuperhatikan gelas tersebut masih terisi penuh dan memang ia tak terlihat menyentuh pinggiran gelas sedikitpun sejak dua jam ini.

Ia hanya gadis yang ku perkirakan berusia 19 tahun, ku taksir tingginya akan sebatas bahuku jika kami berdiri berdampingan, mungkin 168 cm tinggi standar wanita pribumi. Rambutnya sebahu, berwarna coklat pekat yang ku yakin hasil pewarna di salon, wajahnya tirus dengan kening lebar karena memang yang kulihat rambutnya tak berponi, matanya sedikit sipit dengan warna bola mata kecoklatan dan terdapat lingkar hitam pada matanya, hidungnya mancung tapi cenderung besar, wajahnya berjerawat pada pipi sebelah kiri dan bibir bagian bawahnya yang tebal singkron dengan bibir bagian atasnya yang tipis, kulit kuning langsat yang ditumbuhi bulu halus pada bagian lengannya.

Ia bukan gadis cantik, malah menurutku cenderung tak menarik. Tapi kebiasaannya yang sudah tiga kali kudapati melamunkan sesuatu dengan tatapan mata terluka membuatku lebih rajin berkunjung ke cafe ini hanya untuk mendapatinya lagi dan lagi.

Saat aku tengah menatapnya lama, ia mengangkat pandangannya dari meja yang ia pandangi, lalu tak sengaja pandangan kami bertemu selama beberapa detik dan mata itu hanya memandangku datar sementara aku tak sempat berpura-pura memalingkan wajahku ke arah lain, aku justru memandanginya tepat pada bola mata coklatnya, mata itu.... Indah, mata itu terasa teduh, mata itu.... mata itu bak telaga, tenang namun mampu membuatku tenggelam cukup lama tanpa berniat menarik diriku ke permukaan. Lalu ia yang terlebih dulu memutus kontak mata di antara kami, memalingkan wajahnya pada jendela di sampingnya dan lekas bangkit, berjalan keluar dari dari cafe ini.

Aku tak berniat mencarinya, karena pasti kami akan bertemu lagi di tempat ini. Aku lalu bangkit menghampiri tempat duduknya tadi dan mendapati sebuah kertas file putih bersih yang hanya berisi beberapa baris kalimat.

" Sampai kapan aku harus menyangsikan pertengkaran orang tuaku."

Hanya itu, tak ada coretan lain yang bisa memberitahuku tentang nama gadis itu. Lalu kudapati sebuah gantungan kunci untuk ponsel berwarna hijau muda, berbentuk daun dengan kerincingan yang akan berbunyi khas bila di gerakan. Aku mengambil kertas dan gantungan ponsel itu, memasukannya kedalam saku dan bergegas pergi keluar dari cafe ini. Berharap hari-hari berikutnya akan mendapati nama gadis itu atau bahkan bisa memandanginya lebih lama lagi.

Marriage and WoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang