Abu-abu

72 5 0
                                    

Dan disinilah aku sekarang.

Didepan aula sambil menunggu kedatangan-nya.

Oh, aku mulai membayangkan mimpiku tadi. Bagaimana kalau mimpiku jadi nyata. Aku tertawa kecil membayangkannya.

Andai saja tadi Bu Ani tidak membangunkanku, pasti dia sudah-

"Berhentilah tersenyum bodoh seperti itu." Ucapnya membuyarkan lamunanku.

"Eh, sejak kapan kamu disitu?"

"Sejak kamu mulai tertawa sendiri seperti orang gila." Jawabnya acuh tak acuh.

"Oh."

Sebenarnya aku ingin sekali membalas ucapannya dengan candaan. Tapi apa daya selera humorku rendah. Aku tidak bisa menjadi supel dan ceria seperti gadis-gadis lain. Aku gadis yang membosankan bukan.

"Mengenai yang ingin aku katakan padamu..."

"Oh ya, apa yang ingin kamu katakan padaku?" Ucapku cepat mencoba terlihat tidak gugup dihadapannya. Padahal sedari tadi tanganku sudah mulai berkeringat dingin.

Menanti-nanti apa yang akan ia katakan padaku.

"Aku tahu kalau kamu menyukaiku."

Aku tercekat.

"A-apa?"

"Aku tahu." Ucapnya datar.

"T-tunggu, kurasa kamu salah pah-"

"Aku sudah tahu, jadi kamu tidak perlu menyangkalnya lagi." Dia berkata tenang sekali lagi.

"Jadi?" Aku berkata sambil menahan airmataku. Entah kenapa aku jadi ingin menangis.

Mataku panas. Aku mengangkat kepalaku agar airmataku tidak jatuh. Sungguh ini memalukan.

"Aku hanya ingin, memintamu untuk berhenti."

"Apa?" Aku tak mengerti. Kepalaku berputar-putar sekarang.

"Berhenti. Berhentilah menyukaiku."

Setelah itu ia berbalik pergi. Kakiku lemas hingga aku jatuh terduduk. Aku ingin menangis dan berteriak. Tapi entahlah tangisanku seperti teredam.

Dan hari itu aku mengingat semua tentangnya.

Caranya berkedip enggan.

Caranya berdiri malas.

Caranya menatapku datar.

Caranya menamparku dengan kata-katanya.

Hingga caranya berbalik pergi dengan dinginnya.

Aku mengingatnya.



My CaffeineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang